KEHIDUPAN NELAYAN PULAU MADURA
BAB 1 PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG MASALAH
Suku Madura merupakan kelompok suku terbesar ke-3 Indonesia. Jumlahnya kira-kira 12 juta atau 7% dari total jumlah penduduk Indonesia. Kira-kira ada 4 juta orang tinggal di Pulau Madura dan 9 juta lainnya tinggal terutama di pulau Jawa dan bagian lain Indonesia. Disamping bahasa Indonesia, orang Madura mempunyai bahasa mereka sendiri. Sebagian besar orang Madura yang tinggal di pulau Madura berkelompok membentuk perkampungan pertanian, tetapi sangat sedikit orang Madura yang tinggal di pulau ini yang bermata pencaharian semata-mata hanya sebagai petani; iklim di sana sangat kering dan tanahnya tidak subur. Dua musim menuai yang paling besar adalah padi dan tembakau. Tanah dapat dimiliki secara individu atau seluruh komunitas. Banyak orang Madura yang menjadi nelayan. dan berlayar antar pulau dengan kapal barang. Sebagian besar orang Madura yang tinggal di pulau Jawa tidak mempunyai tanah dan mereka menjadi nelayan, pelaut dan buruh harian.
“ Nenek Moyangku Seorang Pelaut….”. Nyanyian itu pastinya tidak lagi asing di telinga kita. Betapa tidak, dari kecil kita sudah diajari oleh guru kita tentang dendangan lagu tersebut. Tapi apakah kita sadar, ternyata nyanyian itu tidak hanya sekedar nyanyian belaka. Pelaut sangat identik dengan orang-orang yang hidup di daerah perairan atau lebih tepatnya disebut dengan laut. Indonesia. Sebuah negara maritim yang lebih dari wilayah lautnya meliputi 2/3 dari seluruh luas wilayah negara. Memiliki kekayaan bahari yang begitu melimpah, layaknya menjadi surga setiap pelaut dan nelayan yang hidup di bumi ini. Namun apakah kenyataannya seperti itu?
Rasanya sulit untuk sekedar menjawab iya atas pertanyaan tersebut. Kenyataannya, nelayan yang mendiami pesisir lebih dari 22 persen dari seluruh penduduk Indonesia justru berada di bawah garis kemiskinan. Sehingga selama ini menjadi golongan yang paling terpinggirkan. Hal ini disebabkan kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada daratan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di indonesia mencapai 34,96 juta jiwa. 63,47 persen % di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Di sisi lain pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya kelautan dan pesisir selalu beriringan dengan kerusakan lingkungan dan habitat. Seperti terumbu karang dan hutan mangrove. Serta hampir semua eksosistim pesisir Indonesia terancam kelestariannya.
Hal tersebut menimbulkan sebuah ironi yang sangat bagi kita semua karena bagaimana bisa, sebuah negeri dengan kekayaan laut yang begitu melimpah malah tidak memberikan kesejahteraan bagi para nelayan? Apa sebetulnya yang menjadi masalah? Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000,– per hari. Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’ sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdabatkan masalah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia. Tetapi bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.
Dengan potensi yang demikian besar, kesejahteraan nelayan justru sangat minim. Identik dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.
Walau sebagai negara maritim yang sejak zaman nenek moyang dikenal sebagai bangsa pelaut yang ulung, Indonesia masih terlalu lemah poisisinya dalam “peta” kelautan dunia. Persoalan tapal batas, pemetaan teritori garis pantai sampai penamaan pulau-pulau dan kalkulasi jumlah pasti sebaran pulau Indonesia memang menjadi masalah sejak masa awal Kemerdekaan Indonesia sampai saat ini. Sehingga friksi perbatasan laut menjadi rawan konflik dan sengketa dengan negara-negara tetangga yang berbatas laut langsung dengan Indonesia (terutama dengan Malaysia, Singapura, dan Australia). Hal ini juga bersinggungan dengan faktor keamanan laut, illegal fishing (pencurian ikan), pelanggaran batas, dan tindak kriminalitas kelautan lainnya. Data statistik menunjukan kerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun akibat pencurian ikan oleh orang asing. Persoalan ini masih ditambah dengan aspek lingkungan hidup kelautan kita yang jauh dari kategori ideal. Padahal Indonesia punya potensi kelautan yang luar biasa besar dan posisi tawar yang tinggi secara ekonomi, strategi dan politik.
Dilihat dari perspektif antropologis, masyarakat nelayan berbeda dengan masyarakat lain. Perspektif antropologis ini didasarkan pada realitas sosial. Bahwa masyarakat nelayan memiliki pola-pola kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain. Hal ini sebagai hasil interaksi mereka dengan lingkungan beserta sumber daya alam yang ada di dalamnya. Pola-pola kebudayaan itu menjadi kerangka berpikir masyarakat nelayan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Perspektif antropologis adalah suatu perspektif atau pendekatan untuk memahami masyarakat dan kebudayaan. Caranya dengan melihat bagaimana masyarakat yang akan dipelajarinya itu mendefinisikan tindakan-tindakan sosial. Hasil-hasil tindakan tersebut bedasarkan pengetahuan serta keyakinan yang mereka miliki.
Pengetahuan dan keyakinan tersebut merupakan kebudayaan. Berisi seperangkat konsep, nilai, sistem kategorisasi, dan teori-teori yang digunakan secara selektif oleh para pendukung dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Perwujudan kebudayaan tersebut dapat dilihat dari pranata-pranata sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Pranata sosial tersebut berfungsi untuk memenuhi kebutuhan khusus. Dua pranata strategis yang dianggap penting dalam kehidupan sosial ekonomi nelayan adalah penangkapan dan pemasaran ikan. Kedua pranata tersebut bersifat eksploitatif. Sehingga menjadi sumber potensial timbulnya kemisikinan struktural dalam masyarakat nelayan. Dalam perspektif Geertz keberadaan kedua pranat tersebut telah menempatkan masyarakat nelayan terpintal pada jarring-jaring kebudayaan yang mereka tenun sendiri.
Kedua pranata sosial ekonomi tersebut terbentuk karena kebutuhan kontekstual atau pilihan rasional masyarakat nelayan. Dalam perspektif kebudayaan nelayan, mereka jarang mempersoalkan keberadaan pranata tersebut secara negatif. Mereka menyadari dalam sistem pembagian hasil tangkapan, yang menempatkan para pemilik perahu atau pedagang prantara/ pedagang ikan memperoleh bagian atau keuntungan besar dari kegiatan tersebut., dipandang sebagai kewajaran. Pembagian tersebut dianggap sebagai kontribusi, biaya, dan resiko ekonomi yang harus ditanggung dalam proses produksi dan pemasaran hasil tangkapan. Persepsi demikan terbentuk karena factor keterpaksaan atau karena tidak ada pilihan lain yang harus dilakukan nelayan. Kalaupun diantara mereka ada yang mengeluh, mereka tidak cukup daya untuk mengubah pranata tersebut agar lebih memihak kepentingan nelayan.. Struktur social budaya yang tercermin dalam operasional kedua pranata di atas memiliki kontribusi besar dalam membentuk corak pelapisan social ekonomi secara umum dalam kehidupan masyarakat nelayan. Mereka yang menempati lapisan sosial atas
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan.Karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir., Namun penduduk miskin pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.
B.RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana status sosial masyarakat nelayan masyarakat Pulau Madura?
2. Bagaimana penuturan bahasa masyarakat nelayan Pulau Madura?
3. Bagaimana perilaku agama masyarakat nelayan Pulau Madura?
4. Bagaimana gaya hidup masyarakat nelayan Pulau Madura?
C.TUJUAN
Tujuan mengambil tema ini adalah untuk mengetahui bagaimana status sosial masyarakat nelayan Pulau Madura. Selain itu, untuk mengetahui bagaimana penuturan bahasa masayarakat nelayan Pulau Madura. Serta untuk mengetahui bagaimana perilaku agama masyarakat nelayan Pulau Madura. Dan utuk mengetahui bagaimana gaya hidup masyarakat nelayan Pulau Madura. Setelah mengetahui hal-hal tersebut diharapkan bisa memahami bagaimana masyarakat nelayan Pulau Madura secara khusus. Serta bisa menambah pengetahuan kita. Tidak kalah penting bagaimana cara kita bersikap setelah mengetahui keadaan masyarakat Madura. Sehingga tidak terjadi kesalahan penafsiran mengenai masyarakat nelayan Pulau Madura.
D.MANFAAT
Manfaat mengambil tema ini agar kita lebih mengetahui bagaimana kondisi nelayan Pulau Madura secara khusus. Sehingga diharapkan setelah adanya essay ini masyarakat luas tidak salah penafsiran tentang masyarakat Madura. Seperti contoh masyarakat luas menganggap masyarakat Madura keras. Kita tidak boleh menyatakan bahwa orang Madura keras. Kita harus meninjaunya terlebih dahulu apa yang menyebabkan hal tersebut ada. Dan kita juga harus mengetahui kerasnya orang Madura itu seperti apa. Sehingga kita bisa menyikapinya.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Menurut Kusnadi (2006) berbagai hasil kajian penelitian, selama ini, tentang kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan telah mengungkapkan bahwa sebagian besar dari mereka khususnya yang tergolong nelayan buruh atau nelayan-nelayan kecil, hidup dalam kubangan kemiskinan. Fokus yang diambil mengenai penyebab rendahnya ekonomi nelayan serta strategi untuk menghadapinya. Kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal kehidupan sehari-hari sangat terbatas. Bagi masyarakat nelayan, diantara beberapa jenis kebutuhan pokok kehidupan, kebutuhan yang paling penting adalah pangan. Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan pangan setiap hari sangat berperan besar untuk menjaga kelangsungan hidup mereka.Kusnadi, mengidentifikasi sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan nelayan yaitu:
- Belum adanya kebijakan dan aplikasi pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terintegrasi atau terpadu di antara para pelaku pembangunan.Strategi-strategi yang dapat ditempuh:
- Mendorong secara bertahap format kebijakan pembangunan nasional pada masa mendatang untuk lebih berorientasi pada pengembangan sektor kemaritiman nasional karena memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dibanding sumberdaya yang lain.
- Meningkatkan koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi program pembangunan antar unit kerja di internal instansi departemen; lintas departemen; atau antar pelaku pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan.
- Mendorong pemda merumuskan blue print kebijakan pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan secara terpadu dan berkesinmabungan
- Menjaga konsistensi kuantitas produksi (hasil tangkap) sehingga aktivitas social ekonomi perikanan di desa-desa nelayan berlangsung terus. Strategi-strategi:
- Meningkatkan kualitas teknologi penangkapan dan dukungan fasilitas lain yang memadai. Sifat teknologi tersebut adalah ramah lingkungan,relevan dengan kondisi perairan, dan bisa mengatasi tantangan alam.
- Meningkatkan akses informasi nelayan terhadap layanan peta lokasi potensi ikan.
- Menjaga kelestarian lingkungan laut dengan bergabagi upaya yang konstruktif dan berlanjut.
- Masalah isolasi geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar masuk barang, jasa, kapital, dan manusia. Berimplikasi melambatkan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat nelayan.Strategi-strategi:
- Membangun sarana dan prasarana ekonomi, seperti jalan raya, sarana transportasi, pelabuhan perikanan, dan fasilitas pendukung lainnya.
- Membangun pusat informasi dan fasilitas pendukungnya
- Keterbatasan modal usaha atau investasi sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya. Strategi-Strategi:
- Mengembangkan fungsi lembaga keuangan mikrodan koperasi yang memihak nelayan.
- Membangun usaha bersama, seperti melalui pemilikan sarana-sarana penangkapan secara kolektif
- Adanya relasi sosial ekonomi ”eksploitatif” dengan pemilik perahu dan pedagang perantara (tengkulak) dalam kehidupan masyarakat nelayan.Strategi-strategi:
- Mengurangi beban utang piutang yang kompleks para nelayan kepada pemilik perahu dan tengkulak.
- Memperbaiki norma sistem bagi hasil dalam organisasi penangkapan,sehingga tidak merugikan nelayan.
- Mengoptimalkan peran lembaga ekonomi lokal.
- Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, berdampak sulitnya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas hidup. Strategi-strategi:
- Meningatkan pemilikan lebih dari satu jenis alat tangkap, agar bisa menangkap sepanjang musim.
- Mengembangkan diversifikasi usaha berbasis bahan baku perikanan atau hasil budidaya perairan, seperti rumput laut.
- Memperluas kesempatan kerja sektor off fishing.
- Transmigrasi nelayan
- Kesejahteraan sosial nelayan yang rendah sehingga mempengaruhi mobilitas social mereka.Strategi-Strategi:
- Membangun fasilitas sosial untuk kepentingan public.
- Mengurangi ”gaya hidup boros” atau pengeluran rumah tangga yang kurang perlu dan mentradisiskan menabung (saving).
- Mengembangkan program pendidikan atau pelatihan ketrampilan menengah berbasis kegiatan ekonomi perikanan dan kelautan, bagi anak-anak nelayan
- Lemah karsa (Prof. Herman Soewardi)
Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya
nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait
karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud
membuat sehingga nelayan tetap dalam kemiskinannya.
- Smith (1979) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai Negara Asia serta Anderson (1979) yang melakukannya di negara-negara Eropa dan Amerika Utara tiba pada kesimpulan bahwa kekauan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah asalan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan asset tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis.
- Subade and Abdullah (1993) mengajukan argumen lain yaitu bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain,opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain sebagai mata pencahariannya. Dengan demikian apa yang terjadi, nelayan tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.
- Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.
Metode yang dipakai dalam buku ini adalah metode deduktif. Penulis memaparkan terlebih dahulu penjelasan umum. Kemudian dilanjutkan dengan memaparkan penjelasan khusus. Memdahkan pembaca untuk cepat mengerti. Tidak berbelit-belit dalam penggunaan kata. Sehingga tidak membingungkan pembaca. Setelah itu juga dilengkapi dengan solusi. Memperjelas pemaparan yang ada.
Tetapi saya kurang setuju dengan pernyataan “Mengurangi beban utang piutang yang kompleks para nelayan kepada pemilik perahu dan tengkulak.” Karena jika ditinjau dari segi ekonomis, nelayan memang berada di bawah cukup. Bagaimana cara belayan mengurangi utangnya? Sedangkan pada realitas yang ada memang sangat kurang. Seharusnya, tidak terjadi diskriminasi penghasilan. Walaupun memang ada strata tertentu. Tetapi prosentasinya juga harus seimbang. Supaya bisa meningkatkan taraf hidup nelayan. Dan agar nelayan dapat mengurangi beban utang yang dimiliki.
BAB III PEMBAHASAN
1. Kondisi Alam dan ekonomi
Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya. Musim paceklik yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan akan semakin membuat masyarakat nelayan terus berada dalam lingkaran setan kemiskinan (vicious circle) setiap tahunnya.Citra nelayan masih sangat identik dengan kemiskinan. Nelayan bahkan disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya. Haeruman (1987) dalam Fachruddin (2005) menyebutkan bahwa kelompok nelayan merupakan golongan yang paling miskin di Indonesia. Hal senada dinyatakan oleh Winahyu dan Santiasih (1993) dalam Kusnadi (2000) yang menyebutkan bahwa dibandingkan dengan sektor pertanian sekalipun, nelayan, khususnya nelayan buruh dan kecil atau nelayan tradisional, dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin.
Berbagai program telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan nelayan. Program yang bersifat umum antara lain Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Keluarga Sejahtera, Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Sedangkan program yang secara khusus ditujukan untuk kelompok sasaran masyarakat nelayan antara lain program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Program Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil (PUPTSK).
Namun, secara umum program-program tersebut tidak membuat nasib nelayan menjadi lebih baik daripada sebelumnya (Fauzi, 2005). Salah satu penyebab kurang berhasilnya program-program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan nelayan adalah formulasi kebijakan yang bersifat top down. Formula yang diberikan cenderung seragam padahal masalah yang dihadapi nelayan sangat beragam dan seringkali sangat spesifik lokal (Waluyanto, 2007). Di samping itu, upaya penanggulangan kemiskinan nelayan seringkali sangat bersifat teknis perikanan, yakni bagaimana upaya meningkatkan produksi hasil tangkapan, sementara kemiskinan harus dipandang secara holistik karena permasalahan yang dihadapi sesungguhnya jauh lebih kompleks dari itu.
Seiring dengan hal tersebut, sejak tahun 1990-an munculnya gagasan mengenai kesejahteraan (well-being) sebagai penjelmaan dari kondisi tidak adanya kemiskinan. Munculnya konsep ini diikuti dengan penekanan pada bagaimana masyarakat miskin sendiri memandang kondisi mereka, yang ditunjang dengan makin populernya analisis kemiskinan yang bersifat partisipatif yakni Participatory Poverty Assessment (PPA) atau Analisis Kemiskinan Partisipastif (AKP).Tidak ada suatu definisi yang spesifik tentang AKP. Berbagai defmisi lebih banyak mengacu pada adanya proses interaktif dan dilibatkannya masyarakat miskin, tetapi bukan pada suatu cara tertentu dalam pengambilan data. Pendekatan ini dikembangkan atas dasar argumen bahwa “orang miskinlah yang lebih tahu tentang kemiskinan mereka” (Suharyo, 2006).
2. Tingkat pendidikan nelayan
Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus dengan teknologi yang dapat dihasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini teknologi di bidang penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaaan nelayan terhadap teknologi.
3. Pola kehidupan nelayan
Streotipe semisal boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah
4.Organisasi dan Pola Relasi Kerjasama Antar-Nelayan
Kehidupan para nelayan bukanlah bersifat individual, tetapi berkelompok. Setiap kelompok nelayan terdiri dari:
- Juragan pemilik kapal/perahu.
- Juragan kepala perahu.
- Pandhiga.
Sebagai sebuah (organisasi) kelompok nelayan pola relasi kerja, baik antara juragan perahu, juragan kepala dan phandiga, atau antar anggota nelayan sendiri, bukan terjadi dalam kerangka hubungan kerja antara “atasan” dan “bawahan” yang bersifat “hubungan pengabdian”, tetapi lebih bersifat “kolegialisme” dan “kekeluargaan”, sekalipun terdapat klasifikasi di antara mereka sesuai dengan spesifikasi kerja masing-masing. Hubungan di antara mereka pun sangat longgar, terbuka, suka-hati dan didasarkan atas “kesertaan secara sukarela”, tetapi dalam kasus-kasus tertentu bahkan seorang juragan pemilik perahu harus merekrut anggota nelayannya dengan “cara membeli”. Hal ini menunjukkan betapa faktor-faktor sosial dan budaya bercampur baur dengan faktor-faktor ekonomi.
Organisasi dan hubungan kerjasama di antara jraghan praho/kapal, jraghan kepala dan awak perahu/kapal di atas tidaklah terlalu ketat, tidak semata-mata didasarkan pada hubungan ekonomi-bisnis, faktor-faktor yang bersifat “kekeluargaan” juga mewarnai pola relasi kerjasama di antara mereka. Artinya, siapapun orangnya, dia dapat masuk menjadi pengikut atau awak perahu (pandhiga) dari seorang pemilik perahu tertentu dan/atau para pemilik perahu yang lain, secara sukarela, tanpa ada paksaan. Demikian pula, mereka pun dapat keluar dari keanggotaan suatu kelompok nelayan tersebut kapan mereka menghendaki, tanpa harus menunggu habisnya satu mosem petthengan, atau apabila menurut mereka kapal/perahu yang mereka ikuti kurang memberikan hasil yang mencukupi atau memuaskan kebutuhan diri dan keluarganya.
Longgarnya ikatan keorganisasian dan hubungan kerjasama kemitraan di antara pemilik kapal, juragan dan awak perahu tersebut tampaknya disebabkan oleh pola rekrutmen anggota yang juga tidak terlalu ketat, tidak terlalu prosedural, atau dengan berbagai persyaratan sebagaimana layaknya sebuah usaha profesional. Khusus untuk seorang juragan kepala, mengingat pentingnya peran dan tanggungjwab dia sebagai “pemegang komando” dalam suatu operasi penangkapan ikan, maka hanya dipersyaratkan bagi setiap nelayan yang telah memiliki banyak pengalaman di bidang penangkapan ikan di laut serta luasnya hubungan dan komunikasi dengan berbagai kelompok nelayan yang ada di daerah itu. Sistem atau pola rekrutmen keanggotaan nelayan dilakukan secara: sukarela, dan membeli. Cara sukarela, adalah perekrutan seseorang dalam sebuah kelompok nelayan yang terbuka bagi siapa saja, atas dasar kesukarelaan yang bersangkutan untuk menjadi anggota kelompok nelayan. Di lain pihak, sistem “membeli” (melle) adalah perekrutan seseorang dalam sebuah kelompok nelayan dengan cara membeli atau membayar agar yang bersangkutan mau menjadi anggota kelompok perahunya. Sistem membeli ini dilakukan manakala sebuah kapal/perahu tersebut pada setiap hari atau setiap musim melaut dapat dikatakan sedikit atau sama sekali tidak membawa hasil tangkapan ikan yang banyak (ta’ olleyan), atau kurang memadai, sehingga, untuk mendapatkan anggota seorang juragan harus membeli orang-orang yang akan dijadikan anggota pandhiga perahunya. Adanya sistem pembelian anggota kelompok nelayan untuk keperluan pengoperasian perahu/kapal seperti ini, menyebabkan adanya hubungan “hutang-piutang” yang cukup rumit di antara mereka dan seringkali menyebabkan posisi “menawar” para phandhiga atau jraghan kepala berada pada posisi lemah dibandingkan para pemilik perahu, serta merupakan lahan yang sangat potensial bagi keduanya untuk terlibat dalam hutang yang bertumpuk-tumpuk.
5. Penuturan Bahasa
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang temperamental. Tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat. Sekalipun kadang melakukan ritual Petik Laut atau Rokat Tase’ (sama dengan larung sesaji). Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura. Mereka memiliki sebuah peribahasa dalam bahasa Madura : angok pote tolang, atembheng pote matah. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata). Sifat yang seperti inilah yang melahirkan tradisi carok pada sebagian masyarakat Madura.
Orang madura itu adalah orang yang mudah menerima keadaan. Berusaha mengalah, dan cenderung berprasangka baik pada orang lain. Hal inilah yang sering melahirkan pemikiran untuk memperdayai dan memanfaatkan keluguan orang Madura. Sehingga pada akhirnya ketika orang madura berusaha membela diri, emosi dan membalas secara fisik, terlihat seperti suku yang tempramental. Hal ini benar-benar dimanfaatkan oleh penjajah Belanda pada jaman dahulu untuk memecah belah persatuan bangsa. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji.Inilah kehebatan orang Madura.
6. Tradisi Masyarakat dan Agama
Masyarakat nelayan Pulau Madura dalam hal agama masih kental dengan mitos dan tradisi. Sudah sejak lama Madura telah menjadi pembicaraan masyarakat, sekalipun pulau yang satu ini tidak besar akan tetapi penduduknya mempunyai kepribadian yang khas dan menarik untuk dibicarakan. Bila bepergian ke seantero kepulauan di Indonesia hampir dapat dipastikan kita akan bertemu dengan orang yang berasal dari Madura. Secara tidak langsung dengan memperhatikan keadaan sekitar kita dapat mengetahui kebiasaan dari orang Madura yang berada di sekitar kita meskipun mereka tidak lagi berada di pulau Madura, namun kebiasaan memang sudah mendarah daging.
Ada beberapa tradisi yang sudah melekat pada orang Madura, begitu pula yang sudah menjadi tradisi masyarakat. Antara lain dapat kita lihat dari bahasanya dengan dialek yang sangat khas. Salah satu kebiasaan lain yang patut kita tiru menupakan kebiasaan menabung yang tidak hanya dalam bentuk uang melainkan juga dalam bentuk investasi masa depan misalnya dalam bentuk perhiasan emas dan sebagainya. Biasanya hasil tabungan ini digunakan para elayan untuk memperbanyak jumlah perahunya atau untuk membeli perahu mesin, kadang kala digunakan untuk naik haji yang merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu.
Nelayan mempunyai kemampuan untuk membaca arah angin, kapan air laut pasang dan kapan surutnya. Mereka juga mengetahui kapan bulan-bulan yang bagus buat menangkap ikan dan tangkapan apa yang akan mereka dapatkan. Kemampuan yang istimewa ini hanya dapat kita temui di desa nelayan yang tak hanya di desa nelayan ini.Pada saat-saat dimana hasil tangkapan sangat minim didapat, para nelayan beralih menjadi pembuat kerupuk. Meskipun hanya pekerjaan sampingan, membuat kerupuk juga merupakan suatu pendapatan yang mencukupi bagi para nelayan. Kerupuk buatan nelayan ini terbuat dari hewan laut yang kemudian diberi nama terung-terung. Selain kerupuk, mereka juga membuat ikan kering, sotong kering.
Namun dalam hal ini sangat ironis jika diketahui akan eksisnya keberadaan tengkulak yang menjadi tempat para nelayan menjual hasil tangkapannya. Keberadaannya yang telah lama semakin eksis hingga perekonomian modern menampilkan KUD Mina pada kampung nelayan namun tidak pernah seberhasil desa nelayan di daerah lainnya.Penggolongan sosial-ekonomi masyarakat nelayan dapat dilihat dari 3 sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan lainnya), struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam golongan nelayan pemilik alat-alat produksi dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi. Dalam kegiatannya, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa atau tenaganya dengan hak-hak yang sangat terbatas. Jumlah nelayan buruh di kampung nelayan sangatlah besar.Dipandang dari teknologi peralatan tangkapnya, masyarakat nelayan terbagi menjadi nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern menggunakan teknologi peralatan tangkap yang canggih sehingga tingkat pendapatan dan kesejahteraan sosial ekonomi-nya jauh lebih tinggi. Nelayan modern ini jumlahnya relatif kecil dibandingkan nelayan tradisional.
Rumah-rumah yang ada di kawasan kampung nelayan ini tidak lagi mengikuti tatanan pola pemukiman tradisional Madura pada umumnya, disebabkan oleh telah masuknya berbagai pengaruh dari luar daerah. Walaupun terkadang ruang-ruang publik yang biasa terjadi pada arsitektur tradisional Madura telah tergantikan fungsinya sebagai jalur akses dan ruang berinteraksi antar sesama nelayan. Ruang publik ini dapat juga terjadi karena perluasan dari halaman dari rumah nelayan. Dalam kata lain, setiap keluarga memiliki ruang privat yang kecil karena rumah nelayan tersebut berupa rumah tunggal bukan rumah yang terdiri atas beberapa bangunan seperti arsitektur tradisional Madura.
Pada daerah tertentu di kampung nelayan ini kita dapat menemukan beberapa rumah yang tipikal terdapat pada satu halaman yang luas. Pada umumnya penghuni rumah tersebut masih ada hubungan persaudaraan antara satu dengan yang lain. Yang mana pola ini yang diterapkan pada arsitektur tradisional Madura meskipun bentukan bangunannya telah melenceng dari bentukan bangunan tradisionalnya. Namun kadang kala terdapat bangunan yang setipe namun berupa bangunan kontrakan.
Selain itu, ada tradisi “perahu tenggelam”.Upacara tradisi selalu dikaitkan dengan upaya membuang sial atau untuk mendapatkan keselamatan dalam menjalani kehidupan. Untuk membuang sial, para nelayan sengaja membalikkan perahu atau mengisinya dengan air hingga penuh agar perahu tenggelam.Sebagaimana upacara tradisi yang lain, tak ada satu wargapun yang bisa menjelaskan sejak kapan dimulainya upacara tradisi ini. Konon, tradisi menenggelamkan perahu atau biasa disebut dengan Perahu Tenggelam ini sudah ada sejak nenek moyang mereka menghuni pulau itu. Terutama para nelayan yang berada di ujung barat pantai.
Tetapi prosesi upacara Perahu Tenggelam ini benar-benar unik dan berbeda dengan upacara tradisi lainnya. Biasanya, prosesi upacara tradisi selalu melibatkan banyak orang bahkan melibatkan hampir seluruh warga masyarakat desa.Namun, prosesi upacara Perahu Tenggelam ini harus dilakukan seorang diri, bahkan wajib dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tak ada orang lain yang melihatnya. Alasan yang didapat secara turun temurun, kalau ada orang lain melihat seseorang sedang melakukan upacara tradisi dengan menenggelamkan perahunya maka orang tersebut akan membantu mengangkat perahu yang ditenggelamkan itu.
Bagi warga masyarakat membantu mengangkat perahu yang tengah ditenggelamkan pada saat upacara Perahu Tenggelam adalah pantangan. Mereka mempercayai, kepedulian itu justru dianggap lancang dan rnelukai hati orang yang tengah mengelar upacara tradisi.Lokasi untuk menenggelamkan perahu pun tidak boleh dilakukan disembarang tempat. Upacara tradisi Perahu Tenggelam ini biasanya dilakukan di depan makam Bangsacara Ragapadmi, yakni nenek moyang yang dipercaya sebagai leluhur Pulau Kambing. Anehnya, meski upacara Perahu Tenggelam mi wajib dilakukan di depan makam Bangsacara Ragapadmi, tetapi upacara ini tak ada hubungannya sama sekali dengan mitos Bangsacara Ragapadmi. Mitos Bangsacara Ragapadmi berdiri sendiri sebagai sebuah mitos yang dipercaya masyarakat Madura.
Mitos Bangsacara Ragapadmi mengisahkan permaisuri Raja Bangkalan yang dibuang ke Pulau kambing. Konon, dahulu kala Raja Bangkalan memiliki permaisuri cantik yang bernama Ragapadmi. Kecantikan Ragapadmi yang tak tertandingi itu tiba-tiba sirna, sebab entah karena apa secara tiba-tiba Ragapadmi menderita penyakit yang menjijikkan. Ragapadmi pun akhirnya diasingkan di sebuah pulau yang sangat sepi dan hanya dihuni kambing.