Makalah Kehidupan Nelayan di Pulau Madura

KEHIDUPAN NELAYAN PULAU MADURA

BAB 1 PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH

Suku Madura merupakan kelompok suku terbesar ke-3 Indonesia. Jumlahnya kira-kira 12 juta atau 7% dari total jumlah penduduk Indonesia. Kira-kira ada 4 juta orang tinggal di Pulau Madura dan 9 juta lainnya tinggal terutama di pulau Jawa dan bagian lain Indonesia. Disamping bahasa Indonesia, orang Madura mempunyai bahasa mereka sendiri. Sebagian besar orang Madura yang tinggal di pulau Madura berkelompok membentuk perkampungan pertanian, tetapi sangat sedikit orang Madura yang tinggal di pulau ini yang bermata pencaharian semata-mata hanya sebagai petani; iklim di sana sangat kering dan tanahnya tidak subur. Dua musim menuai yang paling besar adalah padi dan tembakau. Tanah dapat dimiliki secara individu atau seluruh komunitas. Banyak orang Madura yang menjadi nelayan. dan berlayar antar pulau dengan kapal barang. Sebagian besar orang Madura yang tinggal di pulau Jawa tidak mempunyai tanah dan mereka menjadi nelayan, pelaut dan buruh harian.

“ Nenek Moyangku Seorang Pelaut….”. Nyanyian itu pastinya tidak lagi asing di telinga kita. Betapa tidak, dari kecil kita sudah diajari oleh guru kita tentang dendangan lagu tersebut. Tapi apakah kita sadar, ternyata nyanyian itu tidak hanya sekedar nyanyian belaka. Pelaut sangat identik dengan orang-orang yang hidup di daerah perairan atau lebih tepatnya disebut dengan laut. Indonesia. Sebuah negara maritim yang lebih dari wilayah lautnya meliputi 2/3 dari seluruh luas wilayah negara. Memiliki kekayaan bahari yang begitu melimpah, layaknya menjadi surga setiap pelaut dan nelayan yang hidup di bumi ini. Namun apakah kenyataannya seperti itu?

Rasanya sulit untuk sekedar menjawab iya atas pertanyaan tersebut. Kenyataannya, nelayan yang mendiami pesisir lebih dari 22 persen dari seluruh penduduk Indonesia justru berada di bawah garis kemiskinan. Sehingga selama ini menjadi golongan yang paling terpinggirkan. Hal ini disebabkan kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada daratan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di indonesia mencapai 34,96 juta jiwa. 63,47 persen % di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Di sisi lain pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya kelautan dan pesisir selalu beriringan dengan kerusakan lingkungan dan habitat. Seperti terumbu karang dan hutan mangrove. Serta hampir semua eksosistim pesisir Indonesia terancam kelestariannya.

Hal tersebut menimbulkan sebuah ironi yang sangat bagi kita semua karena bagaimana bisa, sebuah negeri dengan kekayaan laut yang begitu melimpah malah tidak memberikan kesejahteraan bagi para nelayan? Apa sebetulnya yang menjadi masalah? Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000,– per hari. Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’ sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdabatkan masalah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia. Tetapi bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.

Dengan potensi yang demikian besar, kesejahteraan nelayan justru sangat minim. Identik dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.

Walau sebagai negara maritim yang sejak zaman nenek moyang dikenal sebagai bangsa pelaut yang ulung, Indonesia masih terlalu lemah poisisinya dalam “peta” kelautan dunia. Persoalan tapal batas, pemetaan teritori garis pantai sampai penamaan pulau-pulau dan kalkulasi jumlah pasti sebaran pulau Indonesia memang menjadi masalah sejak masa awal Kemerdekaan Indonesia sampai saat ini. Sehingga friksi perbatasan laut menjadi rawan konflik dan sengketa dengan negara-negara tetangga yang berbatas laut langsung dengan Indonesia (terutama dengan Malaysia, Singapura, dan Australia). Hal ini juga bersinggungan dengan faktor keamanan laut, illegal fishing (pencurian ikan), pelanggaran batas, dan tindak kriminalitas kelautan lainnya. Data statistik menunjukan kerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun akibat pencurian ikan oleh orang asing. Persoalan ini masih ditambah dengan aspek lingkungan hidup kelautan kita yang jauh dari kategori ideal. Padahal Indonesia punya potensi kelautan yang luar biasa besar dan posisi tawar yang tinggi secara ekonomi, strategi dan politik.

Dilihat dari perspektif antropologis, masyarakat nelayan berbeda dengan masyarakat lain. Perspektif antropologis ini didasarkan pada realitas sosial. Bahwa masyarakat nelayan memiliki pola-pola kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain. Hal ini sebagai hasil interaksi mereka dengan lingkungan beserta sumber daya alam yang ada di dalamnya. Pola-pola kebudayaan itu menjadi kerangka berpikir masyarakat nelayan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Perspektif antropologis adalah suatu perspektif atau pendekatan untuk memahami masyarakat dan kebudayaan. Caranya dengan melihat bagaimana masyarakat yang akan dipelajarinya itu mendefinisikan tindakan-tindakan sosial. Hasil-hasil tindakan tersebut bedasarkan pengetahuan serta keyakinan yang mereka miliki.

Pengetahuan dan keyakinan tersebut merupakan kebudayaan. Berisi seperangkat konsep, nilai, sistem kategorisasi, dan teori-teori yang digunakan secara selektif oleh para pendukung dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Perwujudan kebudayaan tersebut dapat dilihat dari pranata-pranata sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Pranata sosial tersebut berfungsi untuk memenuhi kebutuhan khusus. Dua pranata strategis yang dianggap penting dalam kehidupan sosial ekonomi nelayan adalah penangkapan dan pemasaran ikan. Kedua pranata tersebut bersifat eksploitatif. Sehingga menjadi sumber potensial timbulnya kemisikinan struktural dalam masyarakat nelayan. Dalam perspektif Geertz keberadaan kedua pranat tersebut telah menempatkan masyarakat nelayan terpintal pada jarring-jaring kebudayaan yang mereka tenun sendiri.

Kedua pranata sosial ekonomi tersebut terbentuk karena kebutuhan kontekstual atau pilihan rasional masyarakat nelayan. Dalam perspektif kebudayaan nelayan, mereka jarang mempersoalkan keberadaan pranata tersebut secara negatif. Mereka menyadari dalam sistem pembagian hasil tangkapan, yang menempatkan para pemilik perahu atau pedagang prantara/ pedagang ikan memperoleh bagian atau keuntungan besar dari kegiatan tersebut., dipandang sebagai kewajaran. Pembagian tersebut dianggap sebagai kontribusi, biaya, dan resiko ekonomi yang harus ditanggung dalam proses produksi dan pemasaran hasil tangkapan. Persepsi demikan terbentuk karena factor keterpaksaan atau karena tidak ada pilihan lain yang harus dilakukan nelayan. Kalaupun diantara mereka ada yang mengeluh, mereka tidak cukup daya untuk mengubah pranata tersebut agar lebih memihak kepentingan nelayan.. Struktur social budaya yang tercermin dalam operasional kedua pranata di atas memiliki kontribusi besar dalam membentuk corak pelapisan social ekonomi secara umum dalam kehidupan masyarakat nelayan. Mereka yang menempati lapisan sosial atas

Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan.Karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir., Namun penduduk miskin pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.

B.RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana status sosial masyarakat nelayan masyarakat Pulau Madura?

2. Bagaimana penuturan bahasa masyarakat nelayan Pulau Madura?

3. Bagaimana perilaku agama masyarakat nelayan Pulau Madura?

4. Bagaimana gaya hidup masyarakat nelayan Pulau Madura?

C.TUJUAN

Tujuan mengambil tema ini adalah untuk mengetahui bagaimana status sosial masyarakat nelayan Pulau Madura. Selain itu, untuk mengetahui bagaimana penuturan bahasa masayarakat nelayan Pulau Madura. Serta untuk mengetahui bagaimana perilaku agama masyarakat nelayan Pulau Madura. Dan utuk mengetahui bagaimana gaya hidup masyarakat nelayan Pulau Madura. Setelah mengetahui hal-hal tersebut diharapkan bisa memahami bagaimana masyarakat nelayan Pulau Madura secara khusus. Serta bisa menambah pengetahuan kita. Tidak kalah penting bagaimana cara kita bersikap setelah mengetahui keadaan masyarakat Madura. Sehingga tidak terjadi kesalahan penafsiran mengenai masyarakat nelayan Pulau Madura.

D.MANFAAT

Manfaat mengambil tema ini agar kita lebih mengetahui bagaimana kondisi nelayan Pulau Madura secara khusus. Sehingga diharapkan setelah adanya essay ini masyarakat luas tidak salah penafsiran tentang masyarakat Madura. Seperti contoh masyarakat luas menganggap masyarakat Madura keras. Kita tidak boleh menyatakan bahwa orang Madura keras. Kita harus meninjaunya terlebih dahulu apa yang menyebabkan hal tersebut ada. Dan kita juga harus mengetahui kerasnya orang Madura itu seperti apa. Sehingga kita bisa menyikapinya.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Menurut Kusnadi (2006) berbagai hasil kajian penelitian, selama ini, tentang kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan telah mengungkapkan bahwa sebagian besar dari mereka khususnya yang tergolong nelayan buruh atau nelayan-nelayan kecil, hidup dalam kubangan kemiskinan. Fokus yang diambil mengenai penyebab rendahnya ekonomi nelayan serta strategi untuk menghadapinya. Kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal kehidupan sehari-hari sangat terbatas. Bagi masyarakat nelayan, diantara beberapa jenis kebutuhan pokok kehidupan, kebutuhan yang paling penting adalah pangan. Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan pangan setiap hari sangat berperan besar untuk menjaga kelangsungan hidup mereka.Kusnadi, mengidentifikasi sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan nelayan yaitu:

  1. Belum adanya kebijakan dan aplikasi pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terintegrasi atau terpadu di antara para pelaku pembangunan.Strategi-strategi yang dapat ditempuh:
    1. Mendorong secara bertahap format kebijakan pembangunan nasional pada masa mendatang untuk lebih berorientasi pada pengembangan sektor kemaritiman nasional karena memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dibanding sumberdaya yang lain.
    2. Meningkatkan koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi program pembangunan antar unit kerja di internal instansi departemen; lintas departemen; atau antar pelaku pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan.
    3. Mendorong pemda merumuskan blue print kebijakan pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan secara terpadu dan berkesinmabungan
    4. Menjaga konsistensi kuantitas produksi (hasil tangkap) sehingga aktivitas social ekonomi perikanan di desa-desa nelayan berlangsung terus. Strategi-strategi:
      1. Meningkatkan kualitas teknologi penangkapan dan dukungan fasilitas lain  yang memadai. Sifat teknologi tersebut adalah ramah lingkungan,relevan dengan kondisi perairan, dan bisa mengatasi tantangan alam.
      2. Meningkatkan akses informasi nelayan terhadap layanan peta lokasi potensi ikan.
      3. Menjaga kelestarian lingkungan laut dengan bergabagi upaya yang konstruktif dan berlanjut.
      4. Masalah isolasi geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar masuk barang, jasa, kapital, dan manusia. Berimplikasi melambatkan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat nelayan.Strategi-strategi:
        1. Membangun sarana dan prasarana ekonomi, seperti jalan raya, sarana transportasi, pelabuhan perikanan, dan fasilitas pendukung lainnya.
        2. Membangun pusat informasi dan fasilitas pendukungnya
        3.  Keterbatasan modal usaha atau investasi sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya. Strategi-Strategi:
          1. Mengembangkan fungsi lembaga keuangan mikrodan koperasi yang memihak nelayan.
          2. Membangun usaha bersama, seperti melalui pemilikan sarana-sarana penangkapan secara kolektif
          3. Adanya relasi sosial ekonomi ”eksploitatif” dengan pemilik perahu dan pedagang perantara (tengkulak) dalam kehidupan masyarakat nelayan.Strategi-strategi:
            1. Mengurangi beban utang piutang yang kompleks para nelayan kepada pemilik perahu dan tengkulak.
            2. Memperbaiki norma sistem bagi hasil dalam organisasi penangkapan,sehingga tidak merugikan nelayan.
            3. Mengoptimalkan peran lembaga ekonomi lokal.
            4. Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, berdampak sulitnya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas hidup. Strategi-strategi:
              1. Meningatkan pemilikan lebih dari satu jenis alat tangkap, agar bisa menangkap sepanjang musim.
              2. Mengembangkan diversifikasi usaha berbasis bahan baku perikanan atau hasil budidaya perairan, seperti rumput laut.
              3. Memperluas kesempatan kerja sektor off fishing.
              4. Transmigrasi nelayan
              5. Kesejahteraan sosial nelayan yang rendah sehingga mempengaruhi mobilitas social mereka.Strategi-Strategi:
                1. Membangun fasilitas sosial untuk kepentingan public.
                2. Mengurangi ”gaya hidup boros” atau pengeluran rumah tangga yang kurang perlu dan mentradisiskan menabung (saving).
                3. Mengembangkan program pendidikan atau pelatihan ketrampilan menengah berbasis kegiatan ekonomi perikanan dan kelautan, bagi anak-anak nelayan
                4. Lemah karsa (Prof. Herman Soewardi)

Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya

nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait

karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud

membuat sehingga nelayan tetap dalam kemiskinannya.

  • Smith (1979) yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai Negara Asia serta Anderson (1979) yang melakukannya di negara-negara Eropa dan Amerika Utara tiba pada kesimpulan bahwa kekauan aset perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah asalan utama kenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan asset tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis.
  • Subade and Abdullah (1993) mengajukan argumen lain yaitu bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain,opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain sebagai mata pencahariannya. Dengan demikian apa yang terjadi, nelayan tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.
  • Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.

Metode yang dipakai dalam buku ini adalah metode deduktif. Penulis memaparkan terlebih dahulu penjelasan umum. Kemudian dilanjutkan dengan memaparkan penjelasan khusus. Memdahkan pembaca untuk cepat mengerti. Tidak berbelit-belit dalam penggunaan kata. Sehingga tidak membingungkan pembaca. Setelah itu juga dilengkapi dengan solusi. Memperjelas pemaparan yang ada.

Tetapi saya kurang setuju dengan pernyataan “Mengurangi beban utang piutang yang kompleks para nelayan kepada pemilik perahu dan tengkulak.” Karena jika ditinjau dari segi ekonomis, nelayan memang berada di bawah cukup. Bagaimana cara belayan mengurangi utangnya? Sedangkan pada realitas yang ada memang sangat kurang. Seharusnya, tidak terjadi diskriminasi penghasilan. Walaupun memang ada strata tertentu. Tetapi prosentasinya juga harus seimbang. Supaya bisa meningkatkan taraf hidup nelayan. Dan agar nelayan dapat mengurangi beban utang yang dimiliki.

BAB III PEMBAHASAN

1. Kondisi Alam dan ekonomi

Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya. Musim paceklik yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan akan semakin membuat masyarakat nelayan terus berada dalam lingkaran setan kemiskinan (vicious circle) setiap tahunnya.Citra nelayan masih sangat identik dengan kemiskinan. Nelayan bahkan disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya. Haeruman (1987) dalam Fachruddin (2005) menyebutkan bahwa kelompok nelayan merupakan golongan yang paling miskin di Indonesia. Hal senada dinyatakan oleh Winahyu dan Santiasih (1993) dalam Kusnadi (2000) yang menyebutkan bahwa dibandingkan dengan sektor pertanian sekalipun, nelayan, khususnya nelayan buruh dan kecil atau nelayan tradisional, dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin.

Berbagai program telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan nelayan. Program yang bersifat umum antara lain Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Keluarga Sejahtera, Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Sedangkan program yang secara khusus ditujukan untuk kelompok sasaran masyarakat nelayan antara lain program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Program Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil (PUPTSK).

Namun, secara umum program-program tersebut tidak membuat nasib nelayan menjadi lebih baik daripada sebelumnya (Fauzi, 2005). Salah satu penyebab kurang berhasilnya program-program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan nelayan adalah formulasi kebijakan yang bersifat top down. Formula yang diberikan cenderung seragam padahal masalah yang dihadapi nelayan sangat beragam dan seringkali sangat spesifik lokal (Waluyanto, 2007). Di samping itu, upaya penanggulangan kemiskinan nelayan seringkali sangat bersifat teknis perikanan, yakni bagaimana upaya meningkatkan produksi hasil tangkapan, sementara kemiskinan harus dipandang secara holistik karena permasalahan yang dihadapi sesungguhnya jauh lebih kompleks dari itu.

Seiring dengan hal tersebut, sejak tahun 1990-an munculnya gagasan mengenai kesejahteraan (well-being) sebagai penjelmaan dari kondisi tidak adanya kemiskinan. Munculnya konsep ini diikuti dengan penekanan pada bagaimana masyarakat miskin sendiri memandang kondisi mereka, yang ditunjang dengan makin populernya analisis kemiskinan yang bersifat partisipatif yakni Participatory Poverty Assessment (PPA) atau Analisis Kemiskinan Partisipastif (AKP).Tidak ada suatu definisi yang spesifik tentang AKP. Berbagai defmisi lebih banyak mengacu pada adanya proses interaktif dan dilibatkannya masyarakat miskin, tetapi bukan pada suatu cara tertentu dalam pengambilan data. Pendekatan ini dikembangkan atas dasar argumen bahwa “orang miskinlah yang lebih tahu tentang kemiskinan mereka” (Suharyo, 2006).

2. Tingkat pendidikan nelayan

Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus dengan teknologi yang dapat dihasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini teknologi di bidang penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaaan nelayan terhadap teknologi.

3. Pola kehidupan nelayan

Streotipe semisal boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah

4.Organisasi dan Pola Relasi Kerjasama Antar-Nelayan

Kehidupan para nelayan bukanlah bersifat individual, tetapi berkelompok. Setiap kelompok nelayan terdiri dari:

  • Juragan pemilik kapal/perahu.
  • Juragan kepala perahu.
  • Pandhiga.

Sebagai sebuah (organisasi) kelompok nelayan pola relasi kerja, baik antara juragan perahu, juragan kepala dan phandiga, atau antar anggota nelayan sendiri, bukan terjadi dalam kerangka hubungan kerja antara “atasan” dan “bawahan” yang bersifat “hubungan pengabdian”, tetapi lebih bersifat “kolegialisme” dan “kekeluargaan”, sekalipun terdapat klasifikasi di antara mereka sesuai dengan spesifikasi kerja masing-masing. Hubungan di antara mereka pun sangat longgar, terbuka, suka-hati dan didasarkan atas “kesertaan secara sukarela”, tetapi dalam kasus-kasus tertentu bahkan seorang juragan pemilik perahu harus merekrut anggota nelayannya dengan “cara membeli”. Hal ini menunjukkan betapa faktor-faktor sosial dan budaya bercampur baur dengan faktor-faktor ekonomi.

Organisasi dan hubungan kerjasama di antara jraghan praho/kapal, jraghan kepala dan awak perahu/kapal di atas tidaklah terlalu ketat, tidak semata-mata didasarkan pada hubungan ekonomi-bisnis, faktor-faktor yang bersifat “kekeluargaan” juga mewarnai pola relasi kerjasama di antara mereka. Artinya, siapapun orangnya, dia dapat masuk menjadi pengikut atau awak perahu (pandhiga) dari seorang pemilik perahu tertentu dan/atau para pemilik perahu yang lain, secara sukarela, tanpa ada paksaan. Demikian pula, mereka pun dapat keluar dari keanggotaan suatu kelompok nelayan tersebut kapan mereka menghendaki, tanpa harus menunggu habisnya satu mosem petthengan, atau apabila menurut mereka kapal/perahu yang mereka ikuti kurang memberikan hasil yang mencukupi atau memuaskan kebutuhan diri dan keluarganya.

Longgarnya ikatan keorganisasian dan hubungan kerjasama kemitraan di antara pemilik kapal, juragan dan awak perahu tersebut tampaknya disebabkan oleh pola rekrutmen anggota yang juga tidak terlalu ketat, tidak terlalu prosedural, atau dengan berbagai persyaratan sebagaimana layaknya sebuah usaha profesional. Khusus untuk seorang juragan kepala, mengingat pentingnya peran dan tanggungjwab dia sebagai “pemegang komando” dalam suatu operasi penangkapan ikan, maka hanya dipersyaratkan bagi setiap nelayan yang telah memiliki banyak pengalaman di bidang penangkapan ikan di laut serta luasnya hubungan dan komunikasi dengan berbagai kelompok nelayan yang ada di daerah itu. Sistem atau pola rekrutmen keanggotaan nelayan dilakukan secara: sukarela, dan membeli. Cara sukarela, adalah perekrutan seseorang dalam sebuah kelompok nelayan yang terbuka bagi siapa saja, atas dasar kesukarelaan yang bersangkutan untuk menjadi anggota kelompok nelayan. Di lain pihak, sistem “membeli” (melle) adalah perekrutan seseorang dalam sebuah kelompok nelayan dengan cara membeli atau membayar agar yang bersangkutan mau menjadi anggota kelompok perahunya. Sistem membeli ini dilakukan manakala sebuah kapal/perahu tersebut pada setiap hari atau setiap musim melaut dapat dikatakan sedikit atau sama sekali tidak membawa hasil tangkapan ikan yang banyak (ta’ olleyan), atau kurang memadai, sehingga, untuk mendapatkan anggota seorang juragan harus membeli orang-orang yang akan dijadikan anggota pandhiga perahunya. Adanya sistem pembelian anggota kelompok nelayan untuk keperluan pengoperasian perahu/kapal seperti ini, menyebabkan adanya hubungan “hutang-piutang” yang cukup rumit di antara mereka dan seringkali menyebabkan posisi “menawar” para phandhiga atau jraghan kepala berada pada posisi lemah dibandingkan para pemilik perahu, serta merupakan lahan yang sangat potensial bagi keduanya untuk terlibat dalam hutang yang bertumpuk-tumpuk.

5. Penuturan Bahasa

Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang temperamental. Tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat. Sekalipun kadang melakukan ritual Petik Laut atau Rokat Tase’ (sama dengan larung sesaji). Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang Madura. Mereka memiliki sebuah peribahasa dalam bahasa Madura : angok pote tolang, atembheng pote matah. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata). Sifat yang seperti inilah yang melahirkan tradisi carok pada sebagian masyarakat Madura.

Orang madura itu adalah orang yang mudah menerima keadaan. Berusaha mengalah, dan cenderung berprasangka baik pada orang lain. Hal inilah yang sering melahirkan pemikiran untuk memperdayai dan memanfaatkan keluguan orang Madura. Sehingga pada akhirnya ketika orang madura berusaha membela diri, emosi dan membalas secara fisik, terlihat seperti suku yang tempramental. Hal ini benar-benar dimanfaatkan oleh penjajah Belanda pada jaman dahulu untuk memecah belah persatuan bangsa. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik haji.Inilah kehebatan orang Madura.

6. Tradisi Masyarakat dan Agama

Masyarakat nelayan Pulau Madura dalam hal agama masih kental dengan mitos dan tradisi. Sudah sejak lama Madura telah menjadi pembicaraan masyarakat, sekalipun pulau yang satu ini tidak besar akan tetapi penduduknya mempunyai kepribadian yang khas dan menarik untuk dibicarakan. Bila bepergian ke seantero kepulauan di Indonesia hampir dapat dipastikan kita akan bertemu dengan orang yang berasal dari Madura. Secara tidak langsung dengan memperhatikan keadaan sekitar kita dapat mengetahui kebiasaan dari orang Madura yang berada di sekitar kita meskipun mereka tidak lagi berada di pulau Madura, namun kebiasaan memang sudah mendarah daging.

Ada beberapa tradisi yang sudah melekat pada orang Madura, begitu pula yang sudah menjadi tradisi masyarakat. Antara lain dapat kita lihat dari bahasanya dengan dialek yang sangat khas. Salah satu kebiasaan lain yang patut kita tiru menupakan kebiasaan menabung yang tidak hanya dalam bentuk uang melainkan juga dalam bentuk investasi masa depan misalnya dalam bentuk perhiasan emas dan sebagainya. Biasanya hasil tabungan ini digunakan para elayan untuk memperbanyak jumlah perahunya atau untuk membeli perahu mesin, kadang kala digunakan untuk naik haji yang merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu.

Nelayan mempunyai kemampuan untuk membaca arah angin, kapan air laut pasang dan kapan surutnya. Mereka juga mengetahui kapan bulan-bulan yang bagus buat menangkap ikan dan tangkapan apa yang akan mereka dapatkan. Kemampuan yang istimewa ini hanya dapat kita temui di desa nelayan yang tak hanya di desa nelayan ini.Pada saat-saat dimana hasil tangkapan sangat minim didapat, para nelayan beralih menjadi pembuat kerupuk. Meskipun hanya pekerjaan sampingan, membuat kerupuk juga merupakan suatu pendapatan yang mencukupi bagi para nelayan. Kerupuk buatan nelayan ini terbuat dari hewan laut yang kemudian diberi nama terung-terung. Selain kerupuk, mereka juga membuat ikan kering, sotong kering.

Namun dalam hal ini sangat ironis jika diketahui akan eksisnya keberadaan tengkulak yang menjadi tempat para nelayan menjual hasil tangkapannya. Keberadaannya yang telah lama semakin eksis hingga perekonomian modern menampilkan KUD Mina pada kampung nelayan namun tidak pernah seberhasil desa nelayan di daerah lainnya.Penggolongan sosial-ekonomi masyarakat nelayan dapat dilihat dari 3 sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan lainnya), struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam golongan nelayan pemilik alat-alat produksi dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi. Dalam kegiatannya, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa atau tenaganya dengan hak-hak yang sangat terbatas. Jumlah nelayan buruh di kampung nelayan sangatlah besar.Dipandang dari teknologi peralatan tangkapnya, masyarakat nelayan terbagi menjadi nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern menggunakan teknologi peralatan tangkap yang canggih sehingga tingkat pendapatan dan kesejahteraan sosial ekonomi-nya jauh lebih tinggi. Nelayan modern ini jumlahnya relatif kecil dibandingkan nelayan tradisional.

Rumah-rumah yang ada di kawasan kampung nelayan  ini tidak lagi mengikuti tatanan pola pemukiman tradisional Madura pada umumnya, disebabkan oleh telah masuknya berbagai pengaruh dari luar daerah. Walaupun terkadang ruang-ruang publik yang biasa terjadi pada arsitektur tradisional Madura telah tergantikan fungsinya sebagai jalur akses dan ruang berinteraksi antar sesama nelayan. Ruang publik ini dapat juga terjadi karena perluasan dari halaman dari rumah nelayan. Dalam kata lain, setiap keluarga memiliki ruang privat yang kecil karena rumah nelayan tersebut berupa rumah tunggal bukan rumah yang terdiri atas beberapa bangunan seperti arsitektur tradisional Madura.

Pada daerah tertentu di kampung nelayan ini kita dapat menemukan beberapa rumah yang tipikal terdapat pada satu halaman yang luas. Pada umumnya penghuni rumah tersebut masih ada hubungan persaudaraan antara satu dengan yang lain. Yang mana pola ini yang diterapkan pada arsitektur tradisional Madura meskipun bentukan bangunannya telah melenceng dari bentukan bangunan tradisionalnya. Namun kadang kala terdapat bangunan yang setipe namun berupa bangunan kontrakan.

Selain itu, ada tradisi “perahu tenggelam”.Upacara tradisi selalu dikaitkan dengan upaya membuang sial atau untuk mendapatkan keselamatan dalam menjalani kehidupan.  Untuk membuang sial, para nelayan sengaja membalikkan perahu atau mengisinya dengan air hingga penuh agar perahu tenggelam.Sebagaimana upacara tradisi yang lain, tak ada satu wargapun yang bisa menjelaskan sejak kapan dimulainya upacara tradisi ini. Konon, tradisi menenggelamkan perahu atau biasa disebut dengan Perahu Tenggelam ini sudah ada sejak nenek moyang mereka menghuni pulau itu. Terutama para nelayan yang berada di ujung barat pantai.

Tetapi prosesi upacara Perahu Tenggelam ini benar-benar unik dan berbeda dengan upacara tradisi lainnya. Biasanya, prosesi upacara tradisi selalu melibatkan banyak orang bahkan melibatkan hampir seluruh warga masyarakat desa.Namun, prosesi upacara Perahu Tenggelam ini harus dilakukan seorang diri, bahkan wajib dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tak ada orang lain yang melihatnya. Alasan yang didapat secara turun temurun, kalau ada orang lain melihat seseorang sedang melakukan upacara tradisi dengan menenggelamkan perahunya maka orang tersebut akan membantu mengangkat perahu yang ditenggelamkan itu.

Bagi warga masyarakat  membantu mengangkat perahu yang tengah ditenggelamkan pada saat upacara Perahu Tenggelam adalah pantangan. Mereka mempercayai, kepedulian itu justru dianggap lancang dan rnelukai hati orang yang tengah mengelar upacara tradisi.Lokasi untuk menenggelamkan perahu pun tidak boleh dilakukan disembarang tempat. Upacara tradisi Perahu Tenggelam ini biasanya dilakukan di depan makam Bangsacara Ragapadmi, yakni nenek moyang yang dipercaya sebagai leluhur Pulau Kambing. Anehnya, meski upacara Perahu Tenggelam mi wajib dilakukan di depan makam Bangsacara Ragapadmi, tetapi upacara ini tak ada hubungannya sama sekali dengan mitos Bangsacara Ragapadmi. Mitos Bangsacara Ragapadmi berdiri sendiri sebagai sebuah mitos yang dipercaya masyarakat Madura.

Mitos Bangsacara Ragapadmi mengisahkan permaisuri Raja Bangkalan yang dibuang ke Pulau kambing. Konon, dahulu kala Raja Bangkalan memiliki permaisuri cantik yang bernama Ragapadmi. Kecantikan Ragapadmi yang tak tertandingi itu tiba-tiba sirna, sebab entah karena apa secara tiba-tiba Ragapadmi menderita penyakit yang menjijikkan. Ragapadmi pun akhirnya diasingkan di sebuah pulau yang sangat sepi dan hanya dihuni kambing.

Makalah Tradisi Lebaran Ketupat Sebagai Kebudayaan Diferensial di Pulau Madura

TRADISI LEBARAN KETUPAT SEBAGAI KEBUDAYAAN DIFERENSIAL DI PULAU MADURA

BAB I PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH

Terdapat tradisi yang unik, mengesankan, dan agak sulit kita temukan di tempat selain di Madura atau paling tidak di masyarakat Madura. Tradisi tersebut adalah budaya ater-ater. Ater-ater ini adalah sebentuk tradisi masyarakat Madura terutama di pedalaman dan grass root yang paling banyak ditemui ketika ada hajatan, selame tan dalam segala macamnya, hari raya keagamaan, tasyakuran, dan lain sebaginya.Kegiatan ater-ater ini diaplikasikan dengan menghantarkan barang (terutama makanan) pada sanak keluarga atau tetangga yang ada di sekitar. Namun tidak jarang tradisi ini juga dilaku kan dan tujukan pada sanak saudara yang jauh.

Bagi kalangan masyarakat Madura, ater-ater merupakan tradisi yang telah turun-temurun. Hal ini dilakukan untuk menyambung dan mempererat tali silaturrahmi antar keluarga atau tetangga.Barang yang dibawa sebagai oleh-oleh bagi yang dikunjungi berupa makanan yang siap saji, seperti nasi putih berserta lauk daging sapi atau kambing, lengkap dengan kue dengan berbagai macam jenisnya. Jajanan, nasi, dan lauk pauk tersebut disimpan dalam wadah khusus, sema cam termos untuk piknik. Lalu dijinjing dibawa ke tempat saudara atau tetangga yang akan dikunjungi.

Makanan siap saji dan tidak tahan lama terse but biasa dibawa pada saudara atau tetangga dekat. Jika yang hendak dikunjungi atau diater-ater adalah keluarga yang letaknya jauh, barang bawaannya biasanya barang yang tidak mudah basi tapi unik. Hanya bisa didapat di tempat-tempat tertentu.Sebagai salah satu dari elemen budaya ma syarakat Madura, ater-ater dapat dijadikan se buah teropong atau sekeping cermin yang dapat menggambarkan identitas dan karakter masya rakat Madura.

Namun tradisi ini sering luput dari perhatian para peneliti. Mungkin saja tradisi ini dianggap cukup sepele dan biasa-biasa saja. Padahal, ater-ater ini adalah salah satu kegiatan atau ritual budaya yang membuat banyak orang menyimpulkan bahwa masyarakat Madura adalah ma syarakat yang ramah, dermawan, komunikatif, baik hati, dan memiliki solidaritas yang tinggi pada sesama.

Pada momen hari raya keagamaan seperti lebaran, ater-ater  ini menemukan momennya yang cukup signifikan. Hampir setiap orang masya rakat Madura melakukannya. Mereka tidak seke dar pergi bertamu untuk bersalam-salaman dan bermaaf-maafan. Mereka tidak lupa membawa sesuatu yang mereka makan di rumahnya. Pada momen lebaran, ater-ater  biasanya didominasi oleh mereka yang sedang bertuna ngan. Rasanya tidak pas jika ater-ater pada sa nak saudara di hari raya, jika tidak bersama-sama tunangan. Tidak jarang, budaya ater-ater ini dijadikan wahana bagi seseorang untuk memper kenalkan tunangannya pada tetangga atau ke luarganya yang lain.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah yang saya ambil adalah “Bagaimana kebudayaan diferensial masyarakat Madura ketika memperingati Hari Rya Idul Fitri?”. Hari Raya Idul Fitri merupakan peringatan hari besar dalam Islam. Dilaksanakan setelah 1 bulan menjalankan ibadah puasa. Tepatnya tanggal 1 syawal. Filosofi lebaran adalah kembali suci. Kita telah berpuasa menahan hawa nafsu dan segala yang membatalkannya selama 1 bulan penuh. Karena itu kita merayakan Hari Raya Idul Fitri dimaknai dengan kembali ke fitrah atau suci.Sehingga diibaratkan bagaikan bayi yang baru lahir. Tetapa di masyarakat Madura ada suatu kebudayaan khusus yang berbeda dari filosofi tersebut. Oleh sebab itu, saya mengambil rumusan masalah ini.

C. TUJUAN

Tujuan mengambil tema ini adalah untuk mengetahui kebudayaan diferensial di Pulau Madura dalam memperingati Hari Raya Idul Fitri. Peringatan hari besar yang secara umum dilakukan untuk bersilaturahmi dan menyucikan diri. Tetapi di Pulau Madura terdapat suau kebudayaan khusus disamping filosofi tersebut. Oleh karena itu, saya mengambil tema ini untuk mengetahui lebih jelas tentang tradisi tersebut. Serta hal apa saja yang dilakukan untuk memperingati hari besar ini. Bagaimana tradisi ini terbentuk. Dan seperti apa tradisi ini dilaksanakan. Serta sejak kapan tradisi iniberlangsung,

D. MANFAAT

Manfaat mengambil tema ini adalah setelah mengetahui kebudayaan diferensial di masyarakat Madura diharapkan masyarakat lebih mengerti filosofi lebaran itu sendiri. Sehingga tidak terjadi kesimpang siuran makna. Walaupun tradisi yang selama ini ada tetap dijalankan. Memang kita tidak boleh menyalahkan tradisi. Tetapi kita juga harus mengetahui filosofi dari tradisi tersebut. Karena tradisi ini dianggap kebudayaan yang diferensial. Kebudayaan khusus dan berbeda dari kebudayaan yang ada di masyarakat pada umumnya. Tidak kalahpentingnya setelah membaca essay ini bisa menambah pengetahuan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Menurut Antonius Atoshoki dalam bukunya “Relasi Dengan Tuhan” hari raya Idul Fitri sebenarnya merupakan ungkapan syukur atas keberhasilan orang beriman untuk menahan nafsu termasuk lapar dan haus di siang hari selama satu bulan penuh. Fokus yang diambil oleh penulis adalah tetntang filosofi perayaan Hari Raya Idul Adha. Keberhasilan ini diungkapkan dengan dipanjatkannya pujian-pujian “takbir”. Mulai dari tenggelam matahari di hari terakhir hingga tiga hari berikutnya. Ungkapan syukur itu dilakukan dengan melaksanakan shalat Idul fitri di masjid-masjid dan di lapangan-lapangan, sembari salaman saling maaf memaafkan satu sama lain. Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha. Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu.Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat.

Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan juga melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi yang sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang dimaukan syariat.Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian atau karena arus mudik mulai meningkat, serta berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri, belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang. Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak diperlukan. Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia lihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang dimaukan syariat.

Demikian pula dengan Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasu-lullah  dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak, tidak harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi, tidak harus mudik karena bersilaturahim dengan para saudara yang sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, dan sebagainya. Dengan tahu bimbingan Rasulullah, beridul Fitri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lebih mudah.

Umat Islam di Indonesia menjadikan Idul Fitri sebagai hari raya utama, momen untuk berkumpul kembali bersama keluarga, Apalagi keluarga yang karena suatu alasan, misalnya pekerjaan atau pernikahan, harus berpisah. Mulai dua minggu sebelum Idul Fitri, umat Islam di Indonesia mulai sibuk memikirkan perayaan hari raya ini, Yang paling utama adalah Mudik atau Pulang Kampung, sehingga pemerintah pun memfasilitasi dengan memperbaiki jalan-jalan yang dilalui. Hari Raya Idul Fitri di Indonesia diperingati sebagai hari libur nasional. Yang diperingati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang memang mayoritas Muslim. Biasanya, penetapan Idul Fitri ditentukan oleh pemerintah, namun beberapa ormas Islam menetapkannya berbeda. Idul Fitri di Indonesia disebut dengan Lebaran, dimana sebagian besar masyarakat pulang kampung (mudik) untuk merayakannya bersama keluarga. Selama perayaan, berbagai hidangan disajikan. Hidangan yang paling populer dalam perayaan Idul Fitri di Indonesia adalah ketupat, yang memang sangat familiar di Indonesia,

Metode yang dipakai dalam penulisan buku ini adalah metode deduktif. Karena penulis memaparkan terlebih dahulu penjelasa-penjelasan yang umum. Kemudian setelah penjelasan yang umum dipaparkan, penulis melengkapinya dengan penjelasan khusus. Kelebihan metode ini adalah pembaca lebih cepat mengerti. Mengerti hal apa yang ingin disampaikan penulis. Karena diperjelas lagi dengan penjelasan yang khusus. Tujuannya agar penjelasan tersebut lebih detail. Sehingga pembaca tidak merasa bingung untuk menafsirkannya.

Namun, dalam buku ini tertulis bahwa takbir dilakukan selama 3 hari pada saat perayaan Idul Fitri. Padahal yang benar hanya 1 hari. Pelaksanaan takbir 3 hari itu pada pelaksanaan Idul Adha. Antara Idu Fitri dan Idul Adha memang terjadi perbedaan. Jadi tidak bisa disamakan. Jika tidak ada perbaikan, maka kemungkinan aka nada terjadi kesalahan penafsiran. Oleh karena itu, saya mencoba untuk meluruskannya. Semoga pembaca lebih mengerti. Di khawatirkan pembacanya adalah anak-anak. Nnatinya akan terjadi kesalahan penafsiran.

BAB III PEMBAHASAN

Tradisi Lebaran Ketupat atau lebaran hari ke-tujuh dari Hari Raya Idul Fitri tidak sempurna jika tak ada ada menu soto bebek di meja makan. Resep menu soto bebek ini adalah tradisi turun temurun warga pulau garam, Madura. Dalam konteks Lebaran Ketupat, maka menu soto bebek tidak disajikan dengan nasi, melainkan dengan ketupat, yakni sejenis lontong yang dibungkus daun kelapa dengan bungkus yang didesain khusus. Lebaran ketupat merupakan salah satu hasil akulturasi kebudayaan Indonesia dengan Islam. Lebaran ketupat atau yang dikenal dengan istilah lain syawalan sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia di berbagai daerah, dari mulai Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan dan lainnya. Lebaran ketupat disemua daerah yang melaksanakannya, pelaksanaannya sama yaitu pada hari ketujuh setelah Hari Raya Idul Fitri. Lebaran ketupat hanya bisa dijumpai di masyarakat Indonesia dengan tujuan pelaksanaannya sama seperti tujuan berhari Raya Idul Fitri, yaitu saling mema’afkan dan bersilaturahim. Istilah saling mema’afkan ini di kalangan masyarakat Indonesia lebih terkenal dengan sebutan “Halal Bihalal”.

Tradisi lebaran ketupat yang diselenggarakan pada hari ke tujuh bulan syawal juga merupakan tradisi khas Indonesia yang biasa disebut sebagai “hari raya kecil” setelah melakukan puasa syawal selama 6 hari atau puasa kecil dibandingkan dengan Idul Fitri yang didahului puasa Ramadhan selama 1 bulan. Sesuai dengan sunnah nabi, setelah memperingati Idul Fitri, umat Islam disunnahkan puasa selama 6 hari, yang bagi umat Islam di Indonesia kemudian diperingati sebagai Lebaran Ketupat atau SyawalanTradisi lebaran ketupat awal mulanya berasal dari orang Jawa, kemudian tradisi ini menyebar ke seluruh pelosok nusantara yang dibawa oleh orang Jawa sehingga menjadi tradisi yang menasional. Makna tradisi lebaran ketupat ini sangat dalam sekali bagi orang Jawa, mengandung filosofis kehidupan yang berharga.

Ketupat atau kupat adalah hidangan khas Asia Tenggara berbahan dasar beras yang dibungkus dengan selongsong terbuat dari anyaman daun kelapa (janur). Ketupat paling banyak ditemui pada saat perayaan Lebaran, ketika umat Islam merayakan berakhirnya bulan puasa. Makanan ini sudah menjadi makanan khas masyarakat Indonesia dalam menyambut hari Raya Idul Fitri. Ada dua bentuk ketupat yaitu kepal (lebih umum) dan jajaran genjang. Masing-masing bentuk memiliki alur anyaman yang berbeda. Untuk membuat ketupat perlu dipilih janur yang berkualitas yaitu yang panjang, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Biasanya ketupat disuguhkan dengan opor ayam, rendang dan masakan-masakan khas masing-masing daerah yang mengandung santan. Ketupat sendiri telah berkembang akibat kreatifitas kuliner di beberapa daerah.

Soto bebek pun diracik dengan bumbu khusus dengan dominasi rasa asin khas masakan Madura, kuahnya yang kental dengan sedikit pedas menambah nikmatnya bebek Madura yang konon rasa dagingnya lebih gurih dari bebek Jawa. Soto bebek adalah menu wajib saat Lebaran Ketupat, selain menu lainnya seperti Opor Ayam, Lontong Mie, dan beberapa makanan ringan seperti lepet, dan ketan manis. ”Soto Bebek juga nikmat jika dicampur daun pepaya, atau disantap dengan nasi ubi. Selain berkunjung ke sanak famili, kebanyakan warga Madura memilih memanfaatkan momen hari ke-tujuh lebaran untuk berekreasi ke sejumlah tempat wisata bersama rekan dan keluarga.Masyarakat Madura menyebut lebaran ketupat dengan “Telasan Topak”. Istilah telasan sendiri, menurut penyair Madura D Zawawi Imron, berarti habis. Dari sisi religious, telasan berarti penghabisan dosa manusia karena telah saling bermaapan. Tapi tafsiran lain menyebutkan, Telasan bisa diartikan sebagai bentuk pesta perayaan pasca puasa yang dilakukan secara habis-habisan.

Karena itulah, banyak warga Madura berjuang sekuat tenaga untuk “toron” atau pulang kampong saat lebaran. Mereka berusaha keras meluangkan waktu, biaya, dan energy untuk mudik. Cerminan kejayaan di tanah rantau kemudian mereka perlambangkan dalam banyak sedikitnya perhiasan emas yang dikenakan kaum perempuan mereka.Sebagaimana senajata bagi laki-laki, perhiasan emas bagi kaum perempuan Maduda telah menjadi pelengkap utama busana. Hiasan di rambur berupa cucuk sisir dan cucuk dinar, misalnya, terbuat dari emas. Bentuknya seperti busur. Cucuk sisir biasanya terdiri dari untaian mata uang emas atau uang talenan dan ukonan. Jumlah untaian mata uang ini tergantung kemampuan pemakai.

Suasana hari raya Idul Fitri di Madura juga tak kalah meriah dibanding daerah lain. Mereka bahkan konsisten hanya akan memasak dan mengkonsumsi ketupat ketika sudah memasuki hari kedelapan bulan syawal.Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah  “memaknainya”.

Dalam sejarah, Sunan Kalijaga adalah orang yang pertama kali memperkenalkannya pada masyarakat Jawa. Beliau membudayakan dua kali Bakda, yaitu Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran. Pada hari yang disebut Bakda Kupat tersebut, di tanah Jawa waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda. Setelah sudah selesai dimasak, kupat tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, menjadi sebuah lambang kebersamaan.

Dalam filosofi Jawa, ketupat Lebaran bukanlah sekedar hidangan khas hari raya Lebaran. Ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau Kupat dalam bahasa Jawa, merupakan kependekan dari Ngaku Lepat (mengakui kesalahan) dan Laku Papat (empat tindakan).Tradisi Sungkeman menjadi implementasi Ngaku Lepat (mengaku kesalahan) bagi orang jawa. Prosesi Sungkeman, yakni bersimpuh di hadapan orang tua seraya memohon ampun, masih membudaya hingga kini. Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, serta memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain, khsusnya ridho orang tua.Sementara, Laku Papat (empat tindakan) dalam perayaan Lebaran yang dimaksud adalah lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. Sebulan lamanya umat muslim berpuasa, Lebaran menjadi ajang ditutupnya Ramadhan. Lebaran juga berakar dari kata lebar. Maknanya bahwa di hari Lebaran ini pintu ampunan telah terbuka lebar.

Luberan bermakna meluber atau melimpah, yakni sebagai simbol anjuran bersedekah bagi kaum miskin. Pengeluaran zakat fitrah menjelang Lebaran pun selain menjadi ritual wajib umat muslim, juga menjadi wujud kepedulian kepada sesama manusia. Khususnya dalam mengangkat derajat saudara-saudara kita yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.Leburan berarti habis dan melebur. Maksudnya pada momen Lebaran ini dosa dan kesalahan kita akan melebur habis. Karena setiap umat dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain.Laburan berasal dari kata labur atau kapur. Kapur adalah zat yang biasa digunakan sebagai penjernih air maupun pemutih dinding. Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batin satu sama lain. Hati nan putih pertanda hati nan suci. Di hari nan fitri ini, mari kita putihkan hati, sucikan diri, dan gapai ridho Ilahi.

 

Makalah Keberadaan Pasar Tradisional Kian Terancam

KEBERADAAN PASAR TRADISIONAL KIAN TERANCAM

BAB I PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan globalisasi, laju kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan perubahan sistem nilai telah membawa perubahan. Perubahan terhadap pola kehidupan dan kebutuhan masyarakat. Untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat muncul berbagai fasilitas perbelanjaan. Pasar sebagai salah satu fasilitas perbelanjaan selama ini sudah menyatu dan memiliki tempat penting dalam kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat, pasar bukan sekedar tempat bertemunya penjual dan pembeli. Pasar juga wadah interaksi sosial dan representasi nilai-nilai tradisional. Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung. Bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar.

Pasar tradisional merupakan ciri pada negara berkembang. Tingkat pendapatan dan perekonomian masyaratakat kurang begitu tinggi. Hal ini menyebabkan masyarakat lebih suka berbelanja ke pasar tradisional.Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, budaya masyarakat Indonesia sudah mulai bergeser. Kegiatan-kegiatan besar dan lebih modern telah memasuki banyak perkotaan di Indonesia. Banyak investor yang masuk ke Indonesia untuk membangun pasar-pasar modern yang menampung kegiatan-kegiatan besar. Era globalisasi ini banyak bermunculan pasar-pasar modern. Dibangun dengan segala kelebihan dan fasilitasnya serta kelengkapannya dalam memperjualbelikan barang-barang kebutuhan masyarakat.

Kehadiran pasar modern, terutama supermarket dan hypermart dianggap oleh berbagai kalangan telah menyudutkan keberadaan pasar tradisional.Di Indonesia, terdapat 13.450 pasar tradisional dengan sekitar 12,6 juta pedagang kecil. Pasar modern tidak banyak berbeda dari pasar tradisional. Pasar jenis ini penjual dan pembelinya tidak bertransaksi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode). Berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara mandiri atau dilayani oleh pramuniaga. Tidak hanya di kota metropolitan saja tetapi sudah merambah sampai kota kecil di tanah air. Sangat mudah menjumpai minimarket, supermarket bahkan hypermarket di sekitar tempat tinggal kita. Tempat-tempat tersebut menjanjikan tempat belanja yang nyaman dengan harga yang tidak kalah menariknya. Namun dibalik kesenangan tersebut ternyata telah membuat para peritel kelas menengah dan kelas bawah mengeluh.

Di Indonesia,supermarket lokal telah ada sejak 1970an.Meskipun masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Supermarket bermerek asing mulai masuk ke Indonesia pada akhir 1990-an. Semenjak kebijakan investasi asing langsung dalam sektor usaha ritel dibuka pada 1998. Meningkatnya persaingan telah mendorong kemunculan supermarket di kota-kota  kecil dalam rangka  mencari pelanggan baru dan terjadi perang harga. Akibatnya, bila supermarket Indonesia hanya melayani masyarakat kelas menengah-atas pada era 1980-an sampai  awal 1990-an , penjamuran supermarket hingga ke kota-kota kecil dan adanya praktik pemangsaan melalui strategi pemangkasan harga memungkinkan konsumen kelas menengah-bawah untuk mengakses supermarket.

Maraknya pembangunan pasar modern seperti hypermarket dan supermarket telah menyudutkan pasar tradisional. Hal ini disebabkan menggunakan konsep penjualan produk yang lebih lengkap dan dikelola lebih professional. Pesatnya perkembangan pasar yang bermodal kuat dan dikuasai oleh satu manajemen. Pesatnya pembangunan pasar modern dirasakan oleh banyak pihak berdampak terhadap keberadaan pasar tradisional. Di satu sisi, pasar modern dikelola secara profesional dengan fasilitas yang serba lengkap. Di sisi lain, pasar tradisional masih berkutat dengan permasalahan klasik. Permasalahan seputar pengelolaan yang kurang professional dan ketidaknyamanan berbelanja Hampir semua produk yang dijual di pasar tradisional seluruhnya dapat ditemui di pasar modern.

Kehadiran kegiatan-kegiatan modern pada awalnya tidak mengancam pasar tradisonal. Kehadiran para sub modern yang menuju konsumen dari kalangan menengah keatas, saat itu lebih menjadi alternatif dari pasar tradisional yang identik dengan kondisi pasar yang kumuh, dengan tampilan dan kualitas yang buruk, serta harga jual rendah dan sistem tawar menawar konvensional. Namun sekarang ini kondisinya telah banyak berubah. Supermarket dan Hypermarket tumbuh bak cendawan dimusim hujan. Kondisi ini muncul sebagai  kosekuensi dari berbagai perubahan dimasyarakat. Sebagai konsumen, masyarakat menuntut hal yang berbeda di dalam aktifitas berbelanja. Kondisi ini masih ditambah semakin meningkatnya pengetahuan, pendapatan, dan jumlah keluarga berpendapatan ganda dengan waktu berbelanja yang terbatas. Konsumen menuntut peritel untuk memberikan nilai lebih dari setiap sen uang yang dibelanjakan.

Kegiatan bisnis modern (Minimarket) mulai beroperasi di Indonesia sejak tahun 1988. Sampai sekarang perkembangan pangsa pasarnya selalu meningkat setiap tahunnya. Sebaliknya pangsa pasar ritel tradisional semakin menurun setiap tahun. Sampai kini persaingan antar kegiatan berlangsung tajam. Ditandai dengan munculnya kecenderungan beralihnya selera belanja konsumen dari kegiatan tradisional ke minimarket yang meningkat.Dari sudut pandang konsumen, maraknya perkembangan bisnis modern yang didukung oleh jaringan pemodal kuat sangat menguntungkan. Tetapi kegiatan tradisional dan kecil diduga akan kalah jika dibiarkan bebas bersaing dengan minimarket. Hal tersebut menjadi ironis sekali bagi ritel tradisional, karena keberadaannya menjadi salah satu motor penggerak perekonomian rakyat, tetapi potensinya cenderung menurun

Perkembangan pasar modern ini diterima dengan mudahnya oleh masyarakat. Karakteristik masyarakat Indonesia yang cenderung gemar berbelanja daripada menabung.. Pasar modern di Indonesia juga berkembang dari sekedar pasar swalayan dengan skala kecil sampai hypermarket dengan skala besar.  Memperdagangkan segala kebutuhan masyarakat Indonesia. Dari bahan makanan, bumbu dapur, sampai dengan barang-barang elektronik. Pasar modern selain menyediakan segala barang yang dibutuhkan konsumen. Pasar modern juga dibangun dengan segala fasilitas dan kelebihan yang terdapat di dalamnya. Fasilitas dan kelebihan yang terdapat di dalam pasar modern tersebut, menyebabkan banyak pasar modern tidak lagi hanya berfungsi sebagai sarana berbelanja melainkan juga sebagai sarana rekreasi.

B.RUMUSAN MASALAH

  1. Bagaimana kondisi pasar tradisional dan pasar modern saat ini?
  2. Bagaimana nasib pasar tradisional setelah berkembangnya pasar modern?
  3. Apakah faktor yang menyebabkan masyarakat lebih memilih berbelanja di pasar modern dibandingkan di pasar tradisional?

Saya mengambil rumusan masalah ini karena telah berkembang pesatnya pasar modern di Indonesia. Sehingga seakan-akan pasar tradisional telah dilupakan oleh sebagian masyarakat. Memang, jika dilihat pada kondisi nyata pasar tradisional terkesan kumuh dan kotor. Selain itu, jika ditinjau dari segi keamanan lebih minim dibanding di pasar tradisional. Lebih lengkap dan nyamannya fasilitas pasar modern membuat masyarakat lebih memilih membeli kebutuhan sehari-hari di pasar modern. Padahal, barang yang djual di pasar tradisional sama dengan barang yang di jual di pasar modern. Walaupun jika ditinjau dari segi harga lebih mahal di pasar modern karena dikenakan pajak. Tetapi segi kelengkapan dan kenyaman fasilitas menjadi prioritas utama masyarakat.

C.TUJUAN

Tujuan mengangat tema ini untuk mengetahui bagaimana kondisi pasar tradisional dan pasar modern. Karena jika dilihat pada kenyataan sebagian besar masyarakat banyak memilih membeli kebutuhan sehari-hari di pasar modern.Sehingga,keadaan ini membuat terjadinya diskriminasi antara pasar tradisional dan pasar modern. Selain tujuan tersebut, saya mengangkat tema ini dengan tujuan untuk mengetahui bagaimanana nasib pasar tradisional setelah berkembang pesatnya pasar modern di Indonesia.Apakah tidak berpengaruh, atau berdampak besar bagi pasar tradisional. Tujuan terakhir mengangkt tema ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat lebih memilih berbelanja di pasar modern dibandingkan di pasar tradisional.

D. MANFAAT

Diharapkan setelah adanya essay ini, masyarakat lebih bisa mengetahui bagaimana kondisi pasar tradisional dan pasar modern. Selain itu, agar masyarakat lebih mengetahui bagaimana nasib pasar tradisional saat ini. Dan faktor apa yang membuat masyarakat cenderung berbelanja di pasar modrn dibanding di pasar tradisional. Setelah mengetahui hal tersebut, diharap masyarakat lebih selektif memilih tempat belanja. Baik ditinjau dari segi keamanan dan kenyamanan. Juga diharapkan masyarakat memiliki rasa iba setelah mengetahui bagaimana kondisi pasar tradisional saat ini. Masyarakat juga harus memikirkan bagaimana nasib pedagang pasar tradisional dalam memenuhi kebutuhan hidupnya jika masyarakat umum cenderung berbelanja di pasar modern.Hal terpenting adalah bagaimana masyarakat dan pemerintah khususnya bisa mengubah citra dan keadaan pasar tradisional gar kembali bisa diterima oleh masyarakat luas.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Menurut buku “Be Smart” karangan Mila Saraswati dan Ida Widaningsih, mengambil fokus bahwa harus adanya interaksi. Interaksi yang dimaksud adalah setiap transaksi jual beli harus ada proses tawar menawar. Tawar menawar inilah yang disebut sebagai interaksi. Jadi, jika suatu transaksi belum terjadi interaksi tawar-menawar maka kegiatan jual beli tersebut bukan dilakukan di pasar. Harus ada aturan main yang tertulis maupun tidak tertulis yang disepakati oleh para pelakunya. Serta regulasi pemerintah yang saling terkait. Berinteraksi, dan secara serentak bergerak bagaikan suatu mesin. Interaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli akan menentukan tingkat harga dan jumlah komoditas yang diperjual belikan.

Harga di pasar ini mempunyai sifat yang tidak pasti. Oleh karena itu bisa dilakukan tawar menawar. Bila dilihat dari tingkat kenyamanan, pasar  selama ini cenderung kumuh. Lokasi yang tidak tertata rapi. Pembeli di pasar biasanya kaum ibu. Mempunyai perilaku yang senang bertransaksi. Serta berkomunikasi /berdialog dalam hal penetapan harga. Mencari kualitas barang. Memesan barang yang diinginkan. Dan perkembangan harga-harga lainnya.

Barang yang dijual di pasar umumnya barang-barang lokal. Ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas, barang yang dijual di pasar dapat terjadi tanpa melalui penyortiran yang kurang ketat. Dari segi kuantitas, jumlah barang yang disediakan tidak terlalu banyak. Sehingga apabila ada barang yang dicari tidak ditemukan di satu kios tertentu, maka dapat dicari ke kios lain. Rantai distribusi pada pasar  terdiri dari produsen, distributor, sub distributor, pengecer, konsumen. Kendala yang dihadapi pada pasar  antara lain sIstem pembayaran ke distributor atau sub distributor dilakukan dengan tunai. Penjual tidak dapat melakukan promosi atau memberikan discount komoditas. Mereka hanya bisa menurunkan harga barang yang kurang diminati konsumen. Selain itu, dapat mengalami kesulitan  dalam memenuhi kesinambungan  barang, lemah dalam penguasaan teknologi dan menejemen sehingga melemahkan daya saing.

Metode yang digunakan dalam buku “Be Smart” menggunakan metode deduktif. Buku ini sangat mudah dimengerti. Metode yang digunakan menyebabkan pembaca langsung bisa menentukan inti dari sebuah pembahasan. Metode deduktif dapat diartikan  metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Jadi, pebulis menuliskan sesuatu yang umum terlebih dahulu. Kalimat-kalimat umum tersebut memberikan gambaran kepada pembaca dengan mudah.Misalnya tetntang pengertian pasar. Penulis menuliskan pengertian pasar secara umum. Kemudian menegaskannya kembali dengan hal-hal yang khusus.

Kesimpulan dari buku tersebut memaparkan tentang  pasar. Di pasar antara penjual dan pembeli akan melakukan transaksi. Transaksi adalah kesepakatan dalam kegiatan jual-beli.  Syarat terjadinya transaksi adalah ada barang yang diperjual belikan, ada pedagang, ada pembeli, ada kesepakatan harga barang, dan tidak ada paksaan dari pihak manapun.

Syarat-syarat terjadinya pasar adalah :

a. Ada tempat untuk berniaga

b. Ada barang dan jasa yang akan diperdagangkan.

c. Terdapat penjual barang tertentu

d. Adanya pembeli barang

e. Adanya hubungan dalam transaksi jual beli.

Buku “Be Smart” telah memaparkan segala sesuatu tentang pasar secara kompleks. Dengan mengggunakan metode deduktif, pembaca menjadi lebih mudah memahami isi buku tersebut. Tetapi, saya tidak setuju pada pernyataan bahwa kegiatan jual-beli di pasar harus melakukan interaksi. Interaksi yang dimaksud adalah melakukan kegiatan tawar menawar. Jika dilihat pada keadaan saat ini, kita berbelanja di pasar modern tidak perlu mlakukan tawar menawar. Belanja tersebut juga termasuk belanja di pasar, tetapi di pasar modern. Jadi,saat ini tidak mutlak dan berpaku bahwa jika berbelanja ke pasar harus melakukan kegiatan tawar menawar. Kita contohkan saja ketika kita berbelanja di pasar modern seperti supermarket. Di supermarket harga telah ditentukan. Sehingga kita tidak diperkenankan untuk melakukan tawar-menawar.

BAB III PEMBAHASAN

A.Kondisi Pasar Modern dan Pasar tradisional

Di Indonesia pangsa pasar dan kinerja usaha pasar tradisional menurun, sementara pada saat yang sama pasar modern mengalami peningkatan setiap tahunnya. Saat ini pasar modern berkembang semakin pesat. Banyaknya investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia untuk mendirikan pasar modern juga semakin banyak. Hal ini menyebabkan keberadaan pasar tradisional terancam. Berbedanya fasilitas yang ada juga menyebabkan pasar tradisional kurang diminati. Kondisi pasar yang kumuh dan kotor juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurang diminatinya pasar tradisional. Sangat berbanding terbalik dengan kondisi pasar modern. Banyak promo yang menggiurkan menyebabkan banyaknya peminat untuk berbelanja di pasar modern. Dinginnya ruangan juga salah satu faktornya. Selain itu barang yang ada di pasar modern lebih lengkap. Serta jika ditinjau dari segi keamanan juga lebih aman berbelanja di pasar modern.

B. Nasib Pasar Tradisional Saat Ini

Menurunnya kinerja pasar tradisional selain disebabkan oleh adanya pasar modern, penurunannya justru lebih disebabkan oleh lemahnya daya saing para kegiatan tradisional. Kondisi pasar tradisional pada umumnya memprihatinkan.Banyak pasar tradisional yang tidak terawat. Sehingga dengan berbagai kelebihan yang ditawarkan oleh pasar modern kini pasar tradisional terancam oleh keberadaan pasar modern.Kelemahan tersebut telah menjadi karakter dasar yang sangat sulit di ubah. Faktor desain dan tampilan pasar. Serta atmosfir, tata ruang, tata letak. Selain itu,keragaman dan kualitas barang, promosi pengeluaran, jam operasional  pasar yang terbatas. Dan optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern.

Diantara berbagai kelemahan yang telah disebutkaan pasar tradisional juga memiliki beberapa potensi kekuatan. Terutama kekuatan sosio emosional yang tidak dimiliki oleh pasar Modern. Kekuatan pasar tradisional dapat dilihat dari beberapa aspek . Aspek-aspek tersebut diantaranya harganya yang relatif lebih murah dan bisa ditawar, dekat dengan pemukiman, dan memberikan banyak pilihan produk segar. Kelebihan lainnya adalah pengalaman berbelanja memegang langsung produk yang umumnya masih sangat segar. Akan tetapi dengan adanya hal tersebut bukan berarti pasar tradisional bukan tanpa kelemahan. Selama ini justru pasar tradisional lebih dikenal memiliki banyak kelemahan, antara lain kesan bahwa pasar terlihat becek, kotor, bau, dan terlalu padat lalu lintas pembelinya. Ditambah lagi ancaman bahwa keadaan sosial masyarakat yang berubah, dimana wanita diperkotaan umumnya berkarier sehingga hampir tidak mempunyai waktu untuk berbelanja ke pasar tradisional.

C. Faktor yang Mempengaruhi

Barang yang dijual di pasar modern memiliki variasi jenis yang beragam. Selain menyediakan barang lokal, pasar modern juga menyediakan barang impor. Barang yang dijual mempunyai kualitas yang relatif lebih terjamin karena melalui penyeleksian yang ketat sehingga barang yang tidak memenuhi persyaratan klasifikasi akan di tolak. Dari segi kuantitas, pasar modern umumnya mempunyai persediaan barang di gudang yang terukur. Dari segi harga, pasar modern memiliki label harga yang pasti. Pasar modern juga mmberikan pelayanan yang baik dengan adanya pendingin udara yang sejuk, suasana nyaman dan bersih, display barang perkategori mudah dicapai dan relatif lengkap, informasi produk tersedia melalui mesin pembaca, adanya keranjang belanja atau keranjang dorong serta ditunjang adanya kasir dan pramuniaga yang bekerja secara profesional. Rantai distribusi pada pasar ini adalah produsen – distributor – pengecer/konsumen.

Perubahan gaya hidup konsumen dalam perilaku membeli barang diantaranya dipengaruhi oleh kemudahan dan penjaminan mutu dari pasar modern, diantaranya:

  1. Melalui skala ekonominya, pasar modern dapat menjual lebih banyak produk yang lebih berkualitas dengan harga yang lebih murah.
  2. Kedua, informasi daftar harga setiap barang tersedia dan dengan mudah diakses publik.
  3. Pasar modern menyediakan lingkungan berbelanja yang lebih nyaman dan bersih, dengan jam buka yang lebih panjang, dan menawarkan aneka pilihan pembayaran seperti kartu kredit untuk peralatan rumah tangga berukuran besar.
  4. Produk yang di jual dipasar modern, seperti bahan pangan, telah melalui pengawasan mutu dan tidak akan dijual bila telah kadaluwarsa.

Makalah Ketidakadilan Hukum di Indonesia

KETIDAKADILAN HUKUM DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Membahas tentang penegakan hukum di Indoensia sebaiknya terlebih dahulu kita mengetahui tentang asal dan usul hukum di negara kita. Hukum adalah suatu kata yang memiliki makna tentang sekumpulan peraturan yang berisi perintah atau larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuaannya. Berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sangsi bagi pelanggarnya.

Berbicara mengenai hukum di Indonesia saat ini, maka hal pertama yang tergambar ialah “ketidakadilan”. Sungguh ironis ketika mendengar seseorang yang mencuri buah dari kebun tetangganya karena lapar harus dihukum kurungan penjara, sedangkan para pihak yang jelas-jelas bersalah seperti koruptor yang merajalela di negara ini justru dengan bebas berlalu lalang di pemerintahan, bahkan menempati posisi yang berpengaruh terhadap kemajuan dan perkembangan negara kita ini. Jikapun ada yang tertangkap, mereka justru mendapatkan fasilitas yang tidak seharusnya mereka peroleh.

Kasus yang lain seperti seorang maling ayam yang harus dijatuhi hukuman kurungan penjara dalam hitungan tahun. Ini sangat berbeda dengan para pejabat pemerintah atau mereka yang mempunyai banyak uang yang memang secara hukum terbukti bersalah namun dengan mudahnya membeli keadilan dan mempermainkan hukum sesuka mereka. Keduanya dalam kondisi yang sama namun dapat kita lihat bagaimanakah hukum itu berjalan dan dimanakah hukum itu berlaku.

Contoh di atas adalah sebagian kecil dari hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Namun dari hal tersebut yang akhirnya membuat orang-orang di negara ini akan menggambarkan bahwa hukum di negara kita tidak adil.

Mengingat hal ini, setiap kita akan bertanya “apa penyebabnya?”. Begitu banyak penyebab sistem hukum di Indonesia bermasalah mulai dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, dan masih banyak lagi. Diantara hal-hal di atas, hal yang terutama sebenarnya adalah ketidak konsistenan penegak hukum. Seperti contoh kasus di atas. Hal tersebut sangat menggambarkan kurangnya konsistensi penegak hukum di negara ini, dimana hukum seolah-olah dapat dapat di beli.

Negara hukum Indonesia yang dapat juga diistilahkan sebagai negara hukum Pancasila, memiliki latar belakang kelahiran yang berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal di Barat walaupun negara hukum sebagai genus begrip yang tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 terinspirasi oleh konsep negara hukum yang dikenal di Barat. Jika membaca dan memahami apa yang dibayangkan oleh Soepomo ketika menulis Penjelasan UUD 1945 jelas merujuk pada konsep rechtstaat. Karena negara hukum dipahami sebagai konsep Barat,  sampai pada kesimpulan bahwa negara hukum adalah konsep modern yang tidak tumbuh dari dalam masyarakat Indonesia sendiri, tetapi “barang impor”. Negara hukum adalah bangunan yang “dipaksakan dari luar”. Lebih lanjut, proses menjadi negara hukum bukan menjadi bagian dari sejarah sosial politik bangsa kita di masa lalu seperti terjadi di Eropa.

Akan tetapi apa yang dikehendaki oleh keseluruhan jiwa yang tertuang dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945, demikian juga rumusan terakhir negara hukum dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah suatu yang berbeda dengan konsep negara hukum Barat dalam arti rechtstaat maupun rule of law. Dalam banyak hal konsep negara hukum Indonesia lebih mendekati konsep socialist legality, sehingga ketika Indonesia lebih mendekat pada sosialisme, Wirjono Prodjodikoro berkesimpulan negara bahwa Indonesia menganut “Indonesia socialist legality”. Akan tetapi istilah tersebut ditentang oleh Oemar Seno Adji yang berpandangan bahwa negara hukum Indonesia bersifat spesifik dan banyak berbeda dengan yang dimaksud socialist legality.

Karena terinspirasi dari konsep negara hukum Barat dalam hal ini rechtstaat maka UUD 1945 menghendaki elemen-elemen rechtstaat maupun rule of law menjadi bagian dari prinsip-prinsip negara Indonesia. Bahkan secara tegas rumusan penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) bukan negara yang berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Rumusan Penjelasan UUD mencerminkan bahwa UUD 1945 menghendaki pembatasan kekuasaan negara oleh hukum.

Untuk mendapatkan pemahaman utuh terhadap negara hukum Pancasila harus dilihat dan diselami ke dalam proses dan latar belakang lahirnya rumusan Pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kehendak lahirnya negara Indonesia serta sebagai dasar filosofis dan tujuan negara. Dari kajian dan pemahaman itu, kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa konsep negara hukum Pancasila disamping memiliki kesamaan tetapi juga memiliki perbedaan dengan konsep negara hukum Barat baik rechtstaat, rule of law maupun socialist legality. Seperti disimpulkan oleh Oemar Seno Adji, antara konsep negara hukum Barat dengan negara hukum Pancasila memiliki “similarity” dan “divergency”.

Jika konsep negara hukum dalam pengertian – rechtstaat dan rule of law – berpangkal pada “dignity of man” yaitu liberalisme, kebebasan dan hak-hak individu (individualisme) serta prinsip pemisahan antara agama dan negara (sekularisme), maka latar belakang lahirnya negara hukum Pancasila didasari oleh semangat kebersamaan untuk bebas dari penjajahan dengan cita-cita terbentuknya Indonesia merdeka yang bersatu berdaulat adil dan makmur dengan pengakuan tegas adanya kekuasaan Tuhan. Karena itu prinsip Ketuhanan adalah elemen paling utama dari elemen negara hukum Indonesia.

 

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah yang menyebabkan ketidakadilan hukum di Indonesia?

2. Bagaimana cara mengatasi ketidakadilan hukum di Indonesia?

 

C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui faktor penyebab ketidakadilan hukum di Indonesia.

2. Untuk mendeskripsikan cara mengatasi ketidakadilan hukum di Indonesia.

 

D. MANFAAT PENULISAN

Agar dapat mengetahui faktor penyebab dan cara mengatasi ketidakadilan hukum di Indonesia.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

  1. MASYARAKAT DAN HUKUM

Di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Bagaimanapun tingkat peradabannya, dari masyarakat, dengan peradaban yang paling tinggi, mempunyai sistem hukum sendiri-sendiri yang dapat dibedakan, baik dari bentuk maupun isinya. Masyarakat yang telah maju menghendaki agar hukum positif itu sebanyak-banyaknya hukum yang tertulis, yaitu hukum undang-undang dengan alasan hukum undang-undang kebih banyak memberikan kepastian hukum daripada hukum yang tidak tertulis, yang disebut hukum kebiasaan. Hukum ada di seluruh dunia, di mana ada masyarakat manusia.

  1. HUBUNGAN NEGARA DAN HUKUM

Negara adalah anak dari hukum, artinya negara dilahirkan oleh hukum, hukum konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar1945, artinya Negara Indonesia sebagai suatu organisasi kekuasaan dari masyarakat dan bangsa Indonesia dilahirkan atau dibentuk oleh Undang-Undang Dasar 1945.

  1. KECERMATAN DALAM PEMBENTUKAN HUKUM

Pembentukan hukum baik yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang yang terdiri dari DPR dan Presiden maupun Mahkamah Konstitusi, dalam makna legislasi negatif seperti istilah Jimly Asshiddiqie,  dilakukan melalui proses yang panjang dan berliku. Pada praktiknya pembentukan hukum, paling tidak melibatkan proses dan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

  • Ketentuan-ketentuan UUD 1945.
  • Situasi dan kekuatan politik berpengaruh pada saat undang-undang itu dibuat.
  • Pandangan dan masukan dari masyarakat.
  • Perkembangan internasional dan perbandingan dengan negara lain.
  • Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pada saat itu, serta.
  • Cara pandang para pembentuk undang-undang terhadap dasar dan falsafah Negara.
  • Pengaruh teori dan akademisi.

Titik rawan dari pembentukan hukum agar sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum Indonesia adalah pada pengaruh dan perkembangan ketentuan dari negara lain serta pandangan akademisi yang sangat dipengaruhi oleh kerangka teori yang hanya bersumber dari negara lain. Pengaruh itu dapat diperoleh dari studi banding ke negara lain maupun pandangan akademisi baik dari dalam maupun luar negeri. Pernyataan ini tidak dimaksudkan sebagai keengganan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan negara-negara lain atau perkembangan internasional atau teori yang berkembang dari luar, akan tetapi lebih dimaksudkan sebagai kehati-hatian dan kecermatan agar hukum yang dibuat sesuai dengan kondisi Indonesia dan cita negara hukum Indonesia. Karena itu alat ukur dan verifikasi terakhir atas seluruh pembentukan hukum harus dilihat dalam kerangka elemen prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan disamping pasal-pasal UUD 1945. Di sinilah kita letakkan nilai Pancasila dalam Pembukaan sebagai norma standar bagi negara hukum Indonesia .

  1. KETENTUAN BAHWA INDONESIA NEGARA HUKUM.

a)      UUD 1945 pasal 1 ayat 3 (hasil amandemen) menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.

b)      UUD 1945 pasal 27 ayat 1: segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan hukum itu dengan tidak ada kecualinya.

c)      Indonesia adalah negara hukum yang memenuhi ciri-ciri negara hukum yaitu:

  • Diakuinya hak asasi manusia.
  •  Adanya asas legalitas (semua tindakan berdasarkan peraturan/hukum yang berlaku).
  • Adanya suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak.

 

  1. ARTI PENTINGANYA HUKUM BAGI WARGA NEGARA

Memberikan rasa keadilan bagi warga negara: hukum dibuat untuk menciptakan keadilan karena dengan peratuaran terdapat bukti-bukti tertulis untuk mengatur kehidupan manusia.

Menjamin kepentingan hukum bagi warga negara: dengan adanya hukum kehidupan ada kepastian hukum bagi warga negara untuk bertindak/melakukan perbuatan tidak ragu-ragu.

Melindungi dan mengayomi hak-hak warga negara: hukum berfungsi melindungi dan mengayomi hak-hak warga negara. Hak-hak warga negara atau manusia sebenarnya sudah ada sebelum ada peraturan tetapi tanpa ada peraturan hak itu akan dirampas oleh orang lain. Dengan peraturan diharapkan hak itu tetap ada dan terus terjaga.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PEMBAHASAN

  1. Faktor penyebab ketidakadilan hukum di Indonesia antara lain:

ü  Tingkat kekayaan seseorang.

Tingkatan kekayaan seseorang itu mempengaruhi berapa lama hukum yang ia terima.

ü  Tingkat jabatan seseorang.

Orang yang memiliki jabatan tinggi apabila mempunyai masalah selalu penyelesaian masalahnya dilakukan dengan segera agar dapat mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Tetapi berbeda dengan pegawai rendahan. Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ngulur janji untuk menyelesaikan kasus tersebut.

ü  Nepotisme.

Mereka yang melakukan kejahatan namun memiliki kekuasaan atau peranan penting di negara ini dapat dengan mudahnya keluar dari vonis hukum. Ini sangat berbeda dengan warga masyarakat biasa yang akan langsung di vonis sesuai hukum yang berlaku dan sulit untuk membela diri atau bahkan mungkin akan dipersulit penyelesaian proses hukumnya.

ü  Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum.

Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum muncul karena hukum itu lebih banyak merugikannya. Di lihat dari yang diberitakan di telivisi pasti masalah itu selalu berhubungan dengan uang. Seperti faktor yang di jelaskan di atas membuat kepercayaan masyarakat umum akan penegakan hukum menurun.

  1. Cara mengatasi ketidakadilan hukum di Indonesia:

Untuk memperbaiki penegakan hukum di Indonesia maka para aparat hukum haruslah taat terhadap hukum dan berpegang pada nilai-nilai moral dan etika yang berlaku di masyarakat. Apabila kedua unsur ini terpenuhi maka di harapkan penegakan hukum secara adil juga dapat terjadi di Indonesia.

Kejadian-kejadian yang selama ini terjadi diharapkan dapat menjadi proses mawas diri bagi para aparat hukum dalam penegakan hukum di Indonesia. Sikap mawas diri merupakan sikap terpuji yang dapat dilakukan oleh para aparat penegak hukum disertai upaya pembenahan dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.

Kegiatan revormasi hukum perlu dilakukan dalam rangka mencapai supremasi hukum yang berkeadilan. Beberapa konsep yang perlu di wujudkan antara lain:

  • Penggunaan hukum yang berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan oleh aparatur negara.
  • Adanya lembaga pengadilan yang independen, bebas dan tidak memihak.
  • Aparatur penegak hukum yang professional.
  • Penegakan hukum yang berdasarkan prinsip keadilan.
  • Kemajuan dan perlindungan HAM.
  • Partisipasi publik.
  • Mekanisme kontrol yang efektif.

Seharusnya pemerintah Indonesia dapat bertindak lebih adil dan untuk kalangan atas lebih memperhatikan lagi dengan segala aspek dalam hukum yang ada dalam negara kita ini. Bertindaklah seadil-adilnya agar tidak ada pihak yang dirugikan.

BAB IV

PENUTUP

Demikian makalah ini kami buat, atas kerjasama dan partisipasinya, kami sampaikan terima kasih. Berdasarkan uraian yang telah kami jelaskan diatas maka dapat di ambil kesimpulan dan saran yang kami susun dibawah ini.

  1. SIMPULAN

Jadi, faktor yang menyebabkan ketidakadlian hukum adalah :

  • Tingkat kekayaan seseorang.
  • Tingkat jabatan seseorang.
  • Nepotisme.
  • Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum.

 

Cara mengatasi ketidakadilan hukum di Indonesia :

  • Penggunaan hukum yang berkeadilan sebagai landasan pengambilan keputusan oleh aparatur negara.
  • Adanya lembaga pengadilan yang independen, bebas dan tidak memihak.
  • Aparatur penegak hukum yang professional.
  • Penegakan hukum yang berdasarkan prinsip keadilan.
  • Kemajuan dan perlindungan ham.
  • Partisipasi publik.
  • Mekanisme kontrol yang efektif.

 

  1. SARAN

Seharusnya pemerintah Indonesia dapat bertindak lebih adil dan untuk kalangan atas lebih memperhatikan lagi dengan segala aspek dalam hukum yang ada dalam negara kita ini. Bertindaklah seadil-adilnya agar tidak ada pihak yang dirugikan.Untuk menghindari ketidakadilan hukum di Indonesia kita tidak boleh membedakan tingkat kekayaan seseorang,tingkat jabatan seseorang,tidak melaksanakan nepotisme, menghindari ketidakpercayaan hukum dalam penegakan hukum di Indonesia.

Untuk mengatasi ketidakadlian hukum di Indonesia maka para aparat hukum haruslah taat terhadap hukum dan berpegang pada nilai-nilai moral dan etika yang berlaku di masyarakat. Apabila kedua unsur ini terpenuhi maka di harapkan penegakan hukum secara adil juga dapat terjadi di Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Mustafa Bachson,2003,Sistem Hukum Indonesi Terpadu,Bandung,

PT Citra Aditya Bakti

  1. Taneko Soleman 1993,Pokok-Pokok Studi Hukum dalam Masyarakat,Jakarta Utara, PT Raja Grafindo Persada
  2. Fidyanifitri.wordpress.com
  3. Rektivoices.wordpress.com